Prolog

415 133 10
                                    

Banyak sekali kertas serta map-map penting yang bertumpukan di atas meja kerja panjang berwarna coklat itu. Hari ini seperti hari-hari biasa yang dilakukan oleh Dosen muda yang sedang duduk di atas kursi berwarna biru. Dia terlihat tengah sibuk menyusun serta membulak-balik halaman buku yang sedang di pegangnya.

Tanpa lelah berjalan dari satu kelas ke kelas lainnya. Juga menjadi seorang dosen pembimbing mahasiswa tingkat akhir sambil mengejar kelulusannya untuk meraih gelar Doktor yang sudah menjadi mimpinya sejak lama.

Maharani Atmajaya. Seorang wanita dewasa yang memiliki prinsip bahwa wanita haruslah berpendidikan tinggi.

Ya. Memang benar, pada akhirnya seorang wanita akan menjadi seorang istri dan juga ibu di kemudian hari. Namun, istri dan juga ibu yang baik haruslah mengerti dengan segala kondisi, mengerti tentang arti berbagi, mengerti akan peran sebagai penyejuk di dalam hati anak dan juga suami.

Dan hal itu tidak akan terjadi begitu saja, perlu sebuah proses penyesuaian diri juga pendewasaan diri yang tak mungkin di dapatkan jika kita tidak berpendidikan.

Tidak bisa dipungkiri juga ada banyak orang beranggapan bahwa wanita tidaklah harus berpendidikan terlalu tinggi, cukuplah sampai selesai wajib belajar saja.

Tentunya hal itu tidak sejalan dengan pemikiran Rani. Karena menurut seorang Maharani Atmajaya, memiliki pendidikan tinggi bukanlah sebuah hal yang tidak mungkin. Jika seorang anak yang dilahirkan oleh wania yang berpendidikan tinggi maka anak itu pasti akan termotivasi untuk mengikuti jejak orang tuanya. Juga mempunyai rasa bangga terlebih pada wanita hebat, seperti ibunya kelak.

Setelah dirasa sudah cukup untuk menyelesaikan pekerjaannya hari ini Rani mulai membereskan sedikit demi sedikit tugas-tugas mahasiwanya lalu dikumpulkan di dalam satu map agar terlihat lebih rapih. Ketika sedang melakukan pekerjaan tersebut tak sengaja pandangan Rani tertuju pada sebuah bingkai foto di atas meja kerja yang dia miliki.

Dilihatnya kembali foto dirinya dan seorang lelaki yang sudah lama sekali mengisi hari-harinya dan mendampingi segala suka dan duka yang terasa di dalam dada.

Foto yang memperlihatkan betapa bahagianya orang di dalam bingkai itu. Ah, Rani kembali mengukir senyum di bibirnya. Membayangkan betapa indah kenangan yang telah lama dia dan tunangannya ukir selama sebelas tahun terakhir ini.

"Aku nggak pernah sangka kita bisa sejauh ini sayang, setelah sekian banyak waktu indah yang udah kita lewatin bareng. Akhirnya, kita bakal serius juga tahun ini," ucapnya lirih. Nyaris tak ada yang bisa mendengar ucapan wanita itu.

Lagi, pikiran Rani kembali mengelana ketika kali pertama bertemu tunangannya sewaktu masa putih abu-abu mereka dahulu. Senyum manis kembali terlihat di wajahnya.

Namun, tiba-tiba lamunannya itu bubar seketika karena ponselnya bergetar
"Drrtttt.... Drrtttt..." . Segera ia meraih benda pipih berwarna hitam itu dan melihat siapakah yang telah menghubunginya.

"Mama," gumamnya

"Halo, ada apa Ma?"

"Kamu masih di kampus Ran?" Terdengar suara wanita paruh baya itu di seberang telepon.

"Iya Ma, bentar lagi pulang. Kenapa?"

"Nggak apa-apa. Cuma Mama minta tolong hari ini jangan pulang sore, soalnya ada hal pernting yang mau Papa sama Mama omongin sama kamu."

"Iya Ma, Rani gak pulang sore, ini udah mau pulang," jawab Rani seadanya lalu segera memutuskan sambungan telepon dengan Mamanya tadi.

"Apa yang mau di omongin sama Mama dan Papa ya? Kok jadi nggak enak hati gini," lalu segera Rani membereskan barang-barangnya dan bersiap untuk pulang ke rumah.

Jodoh Terbaik untuk MaharaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang