1. Bagaimana Krisan dan Esa Bertemu

203 29 51
                                    

Sore itu sinar matahari bersinar dengan teriknya, menghantarkan gelombang panas yang sangat menyengat kulit. Hanya segelintir murid yang berlalu lalang melintasi lapangan upacara kala itu, lagipula, siapa yang mau dengan sengaja berpanas-panasan di saat matahari sedang bersinar dengan kejamnya?

Namun diantara murid-murid itu, Krisan berjalan dengan santainya melintasi lapangan yang nampak seperti lempengan besi yang tengah dipanaskan. Tak peduli dengan warna kulitnya yang akan berubah, ia melenggang seolah sengatan matahari tidak ada apa-apanya.

Dalam pikirannya, hanya ada satu masalah yang sedang ia khawatirkan.

Ia lupa dimana ekskul teater mengadakan kumpul rutinnya.

~•~•~•~•~•~•~

"Hai, kenalkan, nama gue Aldinessa Nayaka Al-Fayyadh," sapa sebuah suara yang tiba-tiba saja muncul. Dengan sigap ku dongakkan kepalaku dan kudapati seseorang mengulurkan tangannya, menungguku untuk meyambutnya.

Masih dengan perasaan terkejut, aku mengerjapkan mata dengan cepat sebelum menyambut uluran tangannya.

"Krisan," jawabku singkat, "Krisantenum Lembayung," sambungku.

"Boleh gue panggil Krisan?" Tanyanya.

"Boleh," jawabku sambil mengangguk.

"Lu bisa panggil gue Esa, tapi kalau mau manggil gue pakai nama yang lain juga boleh kok," ucapnya seraya tersenyum lebar.

Saat itu juga, aku terpesona dengan senyumnya. Satu kata yang menjadi kesan pertamaku terhadap Esa, manis.

"Salam kenal ya," ujarnya ringan sebelum melenggang pergi entah kemana.

Itulah awalnya aku mendapatkan teman pertamaku di kelasku yang sebenarnya.

~•~•~•~•~•~•

Setelah beberapa kali salah ruangan, akhirnya aku dapat menemukan dimana ruang seni yang merupakan sekretariat ekskul teater.

Dari kejauhan dapat kulihat pintu berwarna abu-abu yang tengahnya dicat hitam itu masih tertutup rapat dan tak terlihat sepasang sepatu pun tersusun di rak depan pintu.

Dengan cemas, ku lirik arlojiku yang menampilkan pukul 15.30. Perasaan lega seketika membanjiri hatiku. Syukurlah, ternyata aku tidak terlambat menghadiri latihan rutin, bahkan masih ada 45 menit sebelum latihan dimulai.

Ku edarkan pandanganku demi mencari sosok teman-teman seangkatan ataupun kakak kelas, entah kelas 11 atau kelas 12nya, namun tak kudapati seorang pun anggota teater yang berada di lingkungan ruang seni. Dengan ragu-ragu, aku meraih gagang pintu dan mencoba untuk mendorongnya dan hasilnya pintu itu tak bisa kubuka.

"Aih, nampaknya gue orang pertama yang datang. Kuncinya kira-kira dimana ya? Duh, kakak kelas tidak ada pula," gumamku sambil menatap pintu itu dengan putus asa.

Kembali ku edarkan pandangan ke sekelilingku guna mencari anggota teater yang ada, namun hasilnya tetap sama, nihil. Sambil memasang wajah kebingungan, aku duduk di depan pintu, menunggu siapa pun untuk datang.

Kepalaku ditekuk menempel pada lutut demi menghindari pertanyaan dari murid-murid yang sedang berlalu lalang. Aku yakin mereka penasaran dengan apa yang sedang ku lakukan.

Reticent ; Ubi amor, ibi dolorWhere stories live. Discover now