8. Mari Menyelinap

63 5 6
                                    

"Jadi, kita latihan setiap Selasa, Kamis, sama Sabtu nih?"

"Iya Kra. By the way, nih. Gue udah nulis bagian-bagian kalian semua. Jadi nanti kalian gampang ngafalin naskah dan muncul di babak berapa aja," terangku sambil membagikan catatan kepada masing-masing aktor.

"Yang selalu muncul di setiap babaknya cuma Imti sama Bam doang, sisanya bakal selang-seling atau bahkan ke jeda satu atau dua babak. Oh iya, di situ juga gue udah nulisin juga kekurangan kalian di bagian apa, jadi nanti kalian tau mana aja yang harus lebih diasah lagi."

"Thank you Krisan."

"Sama-sama Imti."

"Oh iya San, kita bakal mulai latihan jam berapa?" tanya Shaqila.

"Kalau mau cepat selesai dan gak balik siang, ya mulainya jam tujuh. Jadi kalian bisa balik jam sepuluh atau jam sebelas," ujarku santai.

Semua aktor terdiam mendengar jam yang kutentukan, kecuali Esa, Haziq, dan Sativa yang spontan tertawa dengan kerasnya.

"Apaan sih lu, Ziq?" sembur Cakra dengan tajam.

"Hahahaha. Enggak, enggak apa-apa kok Kra," jawab Haziq yang kemudian tertawa lagi.

"Well, good luck kalian semua. Selamat datang di dunia teater, khususnya di bawah kepemimpinan Krisan," timpal Esa diiringi senyum tipisnya dan Sativa hanya melemparkan senyum lebar penuh arti.

Imti, Bam, Cakra, Ami, Shaqila, Radit, dan Dinda hanya bisa saling melempar tatap dengan wajah memelas.

"Gue harap kalian semua peka dengan sikap Haziq, Esa, dan Sativa," tuturku.

"Iya, kami paham. Sangat paham malahan," jawab Bam diiringi senyum manis beracunnya.

"Ya udah gih, sana mulai latihan. Kayak biasa, doa terus olah vokal. Abis itu reading. Kita masih reading dulu aja sampai mingdep, nah karena mingdep udah mulai latihan di outdoor, kita mulai olah badan ya. Plus dipraktekin juga. Makanya, sebisa mungkin akhir minggu ini kalian udah hafal sebagian dialog kalian. Paham?"

"Paham," koor mereka.

Setelah itu para aktor membubarkan diri dan bersiap untuk memulai latihan. Sementara itu aku menyingkir dari kerumunan dan bersender di tempat favoritku, pojok ruangan samping pintu. 

Pemandangan kontras terlihat jelas dihadapanku. Bahkan sejak insiden minggu lalu dengan Fariz dan Fadhlullah, masih banyak yang kurang bersimpati dengan proyek ini. Sekali pun sudah terbagi dengan jelas tugas masing-masing divisi, tetap saja mereka berakhir dengan mengobrol hal-hal di luar proyek.

"Memang sih gue sutradaranya, tapi kalau Kael ngotot mau ngurusin semua yang non aktor, bisa-bisa tetep aja gak ada kemajuan," batinku.

Dengan murung, aku menyelinap pergi dari kelas untuk mencari udara segar sekaligus mencari jalan keluar dari masalah yang ada, sekaligus mencari cara untuk menghadapi Kael yang sangat keras kepala.

What the Hell are you thinking of, Kael? You do realize our situation, right?

Tanpa sadar kini aku sudah tiba di perpustakaan sekolah dan berdiri di menghadap ruangan besar nan sepi itu. Dalam hati, aku merutuki diriku yang tanpa sadar menuju perpustakaan dan hanya diam mematung tanpa melakukan apa-apa. Persis setelah aku berbalik dan hendak melangkah pergi, terdengar suara familiar yang memanggilku dari ujung ruangan.

"Mau kemana, San? Bukankah lu baru tiba di sini?" ujar suara itu tepat di belakangku.

Ah shit, here we go again.

Reticent ; Ubi amor, ibi dolorWhere stories live. Discover now