3. Ambivalensi

86 19 13
                                    

"Krisan," sapa sebuah suara yang membuyarkan lamunanku saat itu.

"Ya?" Jawabku sambil menoleh pada sumber suara. Esa.

"Kenapa Sa?" Tanyaku dengan sebelah alis terangkat.

"Lu bakal ngajuin diri buat GENTAS gak?"

"Hmmm, enggak sih kayaknya Sa. Lu mau ngajuin diri?"

"Kenapa lu gak mau?"

"Males ah. Gak tertarik gue juga. Hey, lu belum jawab pertanyaan gue."

Esa terdiam selama beberapa detik lalu ia mengangguk.

"Menurut lu gimana?"

"Gimana apanya?" Jawabku sambil mengernyitkan dahi.

"Gitu."

Dalam hati aku menyesali pertanyaanku barusan.

"Maksud gue tuh, pendapat lu gimana?"

"Oh, lu nanya pendapat gue?"

Esa mengangguk.

"Ikut aja. Selama enam bulan ini, dibandingin sama yang lainnya lu itu termasuk yang perkembangannya cepat. Gak ada salahnya buat nyoba."

"Tapi gue ragu."

Kulemparkan tatapan datar padanya.

"Kok gue kesel ya dengernya."

"Hehe. Abisnya, kelas sepuluh yang lain belum ada yang ngajuin diri, gue takutnya di kira sok-sokan."

"Lah? Kenapa emang? Ada yang ngehujat lu? Enggak kan?"

"Enggak sih, cuma..."

"Apa?"

Esa terdiam. Ia seperti menimbang-nimbang apakah akan melanjutkan kalimatnya atau tidak.

"Enggak. Enggak apa-apa. Ya udah, makasih ya San."

"Yoi, sama-sama."

Esa pun kembali ke tempat duduknya, meninggalkanku yang kembali merebahkan kepala di atas meja.

Bertepatan saat itu, bel masuk istirahat berbunyi nyaring. Entah karena guru di Kenas sangat rajin atau bagaimana, saat bel berbunyi pun sang guru mata pelajaran sudah berada di mejanya sambil mengucapkan salam.

***

"Jadi gitu ya kawan-kawan. Nih, kan bapak udah ngasih tau kalian harus gimana, nah sisanya silakan kalian yang nentuin. Kalo mau lebih paham lagi, entar kan ada GENTAS SENJA dari Cendramawa, kalian nonton sana," ujar Kak Nu, guru seni budaya kami.

Hanya ia guru yang menggunakan "bapak" sebagai panggilan terhadap dirinya sendiri saat pelajaran namun malah meminta semua muridnya memanggil dirinya dengan panggilan Kak Nu, bukan Pak Nu.

"Ada yang mau ditanyakan?"

Dengungan terdengar dari seluruh penjuru kelas, terlihat jelas bahwa sebenarnya banyak yang ingin di tanyakan, namun tak ada satu pun yang berani untuk mengacungkan tangannya.

"Kak Nu!"

Ah, seperti biasa. Esa akan selalu menjadi orang yang berani untuk melemparkan pertanyaan.

"Ya Esa?"

"Temanya boleh bebas?"

"Boleh. Terserah kalian mau apa, cuma bapak saranin khusus kelas ini buat ambil tema kebudayaan lagi. Biar rada nyambung gitu sama yang sebelumnya. Biar matching lah istilahnya."

"Ada batasan berapa halaman gak buat naskahnya?" Tanya Cakra.

"Gak ada. Bebas mau seberapa panjang, tapi jangan lupa sama durasi penampilannya ya. Kalian di batas cuma tiga puluh menit buat tampil di panggung."

Reticent ; Ubi amor, ibi dolorWhere stories live. Discover now