4. Panggung Langit

79 16 17
                                    

Pagi ini langit Kota Bogor nampak tidak bersahabat. Dengan awan hitam menggantung dan angin dingin bertiup ganas, aku berjalan menyusuri koridor dalam diam.

Kulirik arloji yang menunjukan pukul setengah tujuh pagi. Ah, seharusnya kelas sudah ramai.

Dari kejauhan, terlihat ruang kelasku itu masih gelap dan pintunya pun masih tertutup rapat. Biasanya di depan ruangan terlihat teman-temanku yang sedang mengobrol dan murid-murid yang sedang piket, namun hal itu tidak berlaku pada hari ini.

Tanpa peringatan hujan turun dengan derasnya, menambah kesan suram pada pagi hari ini. Memasuki ruang kelas, suasana hening menyambutku dan saat aku akan menekan saklar lampu, terdengar bisikan lirih dari arah belakangku.

"Krisan."

Sedikit ragu, aku menoleh ke belakang dan kudapati wajah Alka tepat di hadapanku.

"HWAANJING!!"

"AAAAAAAHHHH!"

Secara bersamaan kami berteriak karena terkejut melihat raut wajah masing-masing.

"Heh, lu main teriak aja. Kaget gue," sentak Alka.

"Hey, yang tiba-tiba ngomong di belakang gue sambil masang muka serem siapa ya?" sahutku sewot.

"Iya deh iya. Eh lu bawa laptop kan?"

"Iya, jadi kita bisa langsung ngerjain naskahnya setelah—"

"Duh siapa sih pagi-pagi udah ribut?"

Seketika kami berdua terdiam saat mendengar seseorang berbicara dari arah belakang kelas.

"San?"

"A--apa?"

"Lu denger kan?"

"Iya."

Kami berdua saling lirik kemudian mengangguk. Perlahan kami berjalan ke belakang kelas, berusaha mencari tahu siapa yang berbicara tadi dan dalam hati aku menyesal tidak jadi menyalakan lampu gara-gara terkejut saat melihat wajah Alka.

Di kelas kami, di pojok paling belakang, terdapat sekat dari tripleks yang di baliknya sering digunakan untuk shalat atau tidur saat jam istirahat. Terkadang pula, anak laki-laki sering mengganti bajunya di situ, yang lebih parah adalah digunakan untuk bolos jam pelajaran.

Kami berdua mendekat pada sekat tersebut dan mengintip untuk melihat siapa yang berada di balik situ. Saat itu juga, terdapat wajah yang menatap balik kami berdua. Secara bersamaan, kami bertiga pun berteriak.

"HWAAAAAAA!!!!!!" Alka yang berteriak di belakangku langsung mencengkeram kuat bahuku.

"FUCK! GOD DAMN IT!" Aku yang lebih terkejut dengan teriakan Alka spontan melempar buku yang sedari awal aku bawa kepada wajah itu.

"ANJRIT!" Sosok itu juga ikut berteriak sesaat sebelum buku mendarat dengan sukses di wajahnya.

"Aargh, sakit sumpah San. Eh lu berdua jangan ngagetin gue dong," ujarnya.

Jantungku seketika mencelos saat mengenali suara yang sangat ngebass itu.

Oh dear God, what I've done?

Saking terkejutnya, aku sampai tidak menyadari wajah siapa yang sukses mengejutkan kami beberapa saat yang lalu.

"Esa?" tanya Alka yang sudah tenang.

"Siapa lagi?" ujarnya sambil memungut bukuku yang terjatuh.

"Nih buku lu San."

Aku meraih buku tersebut dan melempar senyum canggung padanya yang kemudian hanya dibalas dengan anggukan kecil.

Reticent ; Ubi amor, ibi dolorWhere stories live. Discover now