Part 4

5 2 0
                                    

"Selamat ulang tahun pernikahan yang ke-25 tahun Ayah, Ibu!" malam itu rumah kami mengadakan pesta kecil-kecilan dengan sebuah kue tart dan beberapa makanan pendamping lainnya. Aku lupa sejak kapan kami mulai merayakan ini, tapi yang ku tahu bahwa aku mulai menyimpan lilin-lilin bekas pesta ini sejak usia pernikahan mereka menginjak 18 tahun, saat itu usiaku baru 9 tahun.

"Nah! Saya-chan! Ini untukmu!" Kak Hise menyerahkan lilin bertuliskan 25 itu kepadaku, dia sangat mengerti apa yang benar-benar aku sukai. "Saito! Letakkan bukumu, kau bisa belajar lagi nanti, sekarang makan kuenya dan nikmati pestanya!". Begitulah Hise, kakak laki-laki yang paling bisa diandalkan, paling pengertian dan penuh kasih sayang. Berbeda sekali dengan Saito, dia cenderung lebih diam, tidak banyak bicara, tapi aku tahu dia yang paling menyayangi kami semua, hanya saja dia tidak begitu ekspresif seperti Hise.

"Wah! Apa ini? Tidak ada hadiah untuk Ayah dan Ibu?" ibuku mulai menggoda kami saat Hise mulai menyaingi sifat keibuannya "Hise! Mana? Hadiah?" sambil mengedip-ngedipkan mata dia terus menggoda anak sulungnya itu.

"Tenang saja! Kami sudah menyiapkan hadiah untuk kalian!" Kami mengeluarkan dua tiket perjalanan ke Amsterdam "Kami tahu ayah dan ibu sangat ingin duduk bermesraan keliling kanal Amsterdam!, kami sudah menyiapkan semuanya, perjalanan 7 hari 6 malam. Semua akan baik-baik saja selama kalian tidak merencanakan adik ketiga untukku!" Kami semua tertawa. Malam itu benar-benar malam yang tidak akan pernah ku lupakan.

***

"Kak Hise! Bagaimana cara kakak meyakinkan orang lain untuk bekerja dengan kakak?" malam itu, setelah pesta berakhir, ayah dan ibu memilih berdansa berdua dengan music yang menurutku cocok untuk music pengantar tidur. Kak Saito kembali sibuk dengan naskah-naskahnya, sedangkan aku memilih berdiri di balkon dengan segelas coklat hangat dan seorang teman bicara.

"Buat mereka percaya padamu, tunjukkan ketulusanmu. Dengan begitu mereka akan merasa ingin ikut andil di dalamnya, kemudian mereka akan mulai nyaman, dan mulai merasa memiliki. Semua memang tidak semudah teori, tapi satu hal yang harus kamu tanamkan dalam dirimu adalah yakin, kalau kamu sendiri belum yakin, kamu tidak bisa berharap orang lain akan meyakininya juga!".

***

"Yosh! Semangat Sayaka!" menyedihkan sekali bukan, saat harus menyemangati diri sendiri.

Hari ini sudah ku putuskan untuk meyakinkan Sato Watanabe, playboy kelas kakap di SMA kami. 'Semoga Tuhan melindungiku'. Seperti biasa, dia akan duduk di tengah kantin dan dikerumuni banyak gadis, aku tidak pernah mengerti perasaan orang-orang yang selalu menjadi pusat perhatian seperti Watanabe. "Ohayo! Watanabe-san! Bisa kita bicara sebentar?".

Setelah membawa Watanabe ke tempat yang sudah kupastikan tidak akan ada seorang pun yang mengganggu, aku segera mengutarakan maksudku. "Emm... Watanabe-san! Aku ingin mengatakan sesuatu...".

"Okey! Aku setuju! Nomor antrianmu minggu ini 72, kalau kau mau lebih cepat kita bisa pergi di jam sekolah, aku ahlinya dalam melarikan diri!" melarikan diri? Kenapa kita harus melarikan diri?.

"Tunggu sebentar Watanabe-san! Apakah kamu tahu apa yang ingin kukatakan?".

"Tentu saja!" tiba-tiba saja dia meraih ponselku dan mengetikkan nomornya disana, kemudian dia melakukan panggilan ke ponselnya sendiri "Okey! Sebaiknya kau segera menyimpan nomorku! Ohya! Siapa namamu?".

"Ishikawa Sayaka!"

"Okey! Kalau waktunya sudah tiba aku akan menghubungimu, Sayaka-chan!" tak lama kemudian dia pergi begitu saja. Kuharap dia benar-benar mengerti apa yang aku maksudkan.

***

Keesokan harinya setelah jam makan siang, Watanabe tiba-tiba saja memintaku datang ke belakang sekolah dengan membawa semua barangku. "Watanabe-san!".

"Lama! Cepat naik! Aku akan membantumu melewatinya!" tiba-tiba saja Watanabe menarikku dan membawaku melewati dinding belakang sekolah, aku yang masih tidak mengerti apa yang sedang kami lakukan saat ini terus bertanya-tanya sendirian.

"Watanabe-san! Sebenarnya apa yang sedang kita lakukan sekarang? Kenapa kita melewati dinding? Kalau guru tahu kita pasti akan kena masalah!" tanpa menghiraukan ucapanku, Watanabe langsung membawaku lari menuju stasiun. "Watanabe-san!".

"Kita akan ke kota!".

"Ha? Untuk apa?".

"Tentu saja kencan! Bukankah kemarin kau memintaku untuk berkencan denganmu?" rasanya seperti ditimpa dinding beton, karena kecerobohanku tidak memastikan terlebih dahulu isi kepala kami, aku jadi harus berada di situasi konyol seperti ini. Seharusnya kemarin aku mengatakannya dengan jelas bahwa aku ingin dia ikut acara fasion show kami.

"Tunggu sebentar! Watanabe-san! Maaf sebelumnya, tapi aku tidak pernah memintamu untuk berkencan denganku! Aku hanya ingin meminta bantuan Watanabe-san untuk memperagakan beberapa busana di acara fasion show kami!" seketika laki-laki disampingku ini terdiam.

TBC~

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 07, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

POCKETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang