katanya sih, bicara soal fakta.

2K 193 151
                                    

Omong-omong, pintu teater bioskop sudah ditutup dari satu jam yang lalu.

Namun, kedua pemuda ini masih tertidur dengan pulas sekaligus mulut menganga. Jangan, lihat dari samping! Nanti malu tercuat. Habisnya, air liur keluar dari arah samping kanan bibir. Sementara satu pasang mata mulai terbuka. Secara perlahan dan perlahan.

Tunggu dalam hitungan lima dan-suara teriakan terdengar, menggema pada satu ruangan. Memancing satu pemuda lainnya untuk terbangun dari lelapnya.

"Kenapa sih?" Mukanya tentu mengerung. (Sudut bibirnya sudah turun ke bawah, belum lagi perihal alis yang menyatu, memperlihatkan kekesalan tak berujung). Dibangunkan dari mimpi panjang nan indah secara paksa, mana ada yang senang! Diliriknya sang pelaku utama, eh, senyum terulas dengan pasti. Dari ujung kanan sampai kiri mengebut memakai kecepatan cahaya! Serius deh. (Memang aneh, kalau sudah berhubungan sama Seokjin, hujan pun bisa rasa es kepal milo. Eh iya, yang tadi teriak itu Seokjin, Kim seokjin.)

"Kenapa kita bisa ada di sini?" Mata Seokjin mulai berobservasi. Menangkap seluruh informasi dari segala sisi.

"Wow, jadi mulai sekarang sudah kita?" Alisnya sudah naik turun,  selama lima detik. Separuh badannya sudah menghadap sempurna ke arah Seokjin.

Merah. Bukan, Merah muda maksudnya. Tentu saja, semburat itu meluncur di antara pipi Seokjin. Bisa-bisanya, otak udang itu berpikir ke arah lain. Tangan kanan Seokjin terkepal secara sempurna saat kalimat-kalimat kesal terucap dari mulutnya. "Yak! Maksudku bukan begitu, Bodoh! Kenapa aku dan seonggok manusia jadi-jadian bisa ada dalam bioskop? Ber-du-a?" Urat-urat di leher tercetak jelas, menghasilkan sebuah siulan dari arah samping.

"Seksi." Pletak! Dirinya langsung mengaduh kesakitan. Dasar calon pasangan maso! Begitu batinnya mengumpat. "Entahlah? Bisa jadi, kau menculikku dan ingin berduaan denganku. Bukan begitu ya?"

"Sembarangan!"

("Okay, bisa dengar aku sebentar? Tuan-tuan?" )

Tetapi, tetap saja adu mulut itu tak berhenti. (Tenang kok, mulut-mulut itu tidak saling menyatu. Ey.)

("TUAN-TUAN!" Dehaman terdengar sekilas, memotong terusan kalimat. "Jadi begini, secara teknis, kalian boleh keluar dari sini, setelah kalian membantuku. Bantu aku membacakan fakta tentang diriku.")

"Hah?" Seokjin duluan merespons. Alih-alih menurut, darah dalam raga sudah mengalir dengan deras. "Jadi, kau mengurungku bersama manusia mesum tak tahu diri, cuma ingin membacakan fakta tentangmu? Hell ya." Pelipis kepala sudah dipijat kuat-kuat.

Sementara, mahluk hidup lainnya malah bertepuk tangan dengan senang. "Okay, kalau bisa sih, aku minta tambahan jam. Setuju!"

Pletak!

Lagi. Dan sekarang rasanya jauh lebih fantastis.

("Yasudahlah, kalau kalian tak mau membacakan fakta tentangku. Selamat bersenang-senang di bioskop!-")

Pernyataan tadi mengundang dua respons kontradiksi. "Tidak!" dan "Setuju!" Mengalun dengan nada tinggi di udara.

Secara berulang kali.

("Aku mulai sakit kepala. Jadi kalian mau atau tidak?")

Baru saja pemuda itu membuka mulut, Seokjin sudah melotot. "Okay, mana sini faktanya, akan aku bacakan."

("Aku ingin kalian berdua. Bukan kamu saja, Seokjin.")

Seokjin mendesis sebagai reaksi dari perkataan tadi. Dengan tatapan tajam, dirinya meraih selembar kertas yang sejak tadi tergeletak di hadapan mereka dan mendelik tajam. "Sini mendekat padaku."

sst, soulmate shouldn't be hereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang