SATU

11.3K 639 10
                                    

Jerry memukul berkali - kali setir mobilnya dengan emosi yang memuncak. Betapa ia benci pada kehidupan nya yang sarat akan reputasi, harta dan tahta.

Sungguh, jika ia bisa memilih, ia lebih baik terlahir sebagai anak dari sepasang orang tua yang mempunyai cinta dan kasih sayang yang luar biasa besar meskipun dalam keadaan ekonomi yang pas - pasan ketimbang terlahir dari keluarga yang tidak pernah saling memahami dan mengerti seperti saat ini.

Ayahnya, Leonard Fuchs, seorang lawyer terkenal di era nya benar - benar menjadikan hidupnya bagai dalam petaka. Segala tindak tanduk nya selalu dalam pengawasan sang ayah. Bahkan dari cara nya berpakaian, cara nya bertutur kata semua dibawah kendali.

Ia muak dan kali ini, tidak ada yang bisa menghalangi niat nya untuk pergi dari rumah itu. Dia sudah dua puluh delapan tahun dan kabur seperti ini sungguh bagai ia masih berusia delapan belas.

Jangan salahkan dia yang membangkang seperti ini. Ia tidak akan berbuat jauh jika saja ayahnya tidak berusaha untuk kembali mengatur nya dengan menjodohkannya dengan wanita pilihannya itu.

'Ayah mau yang terbaik untukmu, nak.'

Cih, ia muak mendengar kalimat itu yang berulang kali menjadi alibi ayah nya untuk mengekang hidupnya. Dan kini, ia sungguh merasa bebas. Ia akan menata hidupnya yang baru. Melepas beban menjadi keturunan seorang Fuchs.

Ia terus melajukan mobil nya memasuki kota baru yang akan menjadi tempat nya hidup. Ia melongok ke kanan kiri jalan. Hari sudah larut dan ia butuh istirahat.

Dan ia mendesah lega ketika melihat sebuah plang penginapan sederhana di tepi jalan. Ia memarkirkan mobilnya dengan mata yang terus mengamati penginapan sederhana itu.

Penginapan itu lebih mirip seperti rumah biasa yang sederhana dengan kebun bunga mawar yang mengelilingi bagian kanan penginapan itu.

Tak ada salahnya menginap disini, pikir Jerry. Suasana di tempat ini begitu menenangkan, cocok untuk dirinya yang membutuhkan ketenangan disela kalut hati nya.

Bunyi lonceng menyapa nya begitu pintu bergaya klasik sederhana itu terbuka.

"Halo." Jerry menatap keseluruhan ruangan ini. Lagi lagi, kesederhanaan lah yang ia temukan di dalamnya.

"Selamat datang tuan." Jerry melonjak kaget begitu melihat sosok lelaki paruh baya muncul tiba - tiba.

"Ah..iya. Apa masih ada kamar yang kosong tuan?" tanya Jerry sopan.

Lelaki paruh baya itu tersenyum teduh menatap Jerry. "Tentu tuan. Banyak kamar kosong saat ini."

"Ah kalau begitu, aku ambil satu kamar untuk dua hari."

Lelaki tua itu mengangguk. "Baik tuan. Ini kunci kamar tuan. Kamar nomor tujuh untuk tuan yang terlihat sangat lelah saat ini."

Jerry menatap lelaki tua itu berterima kasih. "Terima kasih tuan."

"Sama - sama tuan. Ah iya, apa tuan butuh makanan? Karena saya pikir malam sudah terlalu larut untuk tuan mencari makanan diluar. Apa tuan sudi memakan sup buatan putri saya?" tanya nya dengan wajah segannya.

Jerry tanpa ragu langsung mengangguk senang. "Tentu. Kebetulan saya memang sedang lapar. Tapi jika itu tidak merepotkan tuan."

"Sama sekali tidak tuan. Kalau begitu selamat beristirahat. Nanti putri saya akan mengantarkan makanan itu ke kamar tuan."

Jerry mengangguk lalu melenggang mencari kamar bernomor tujuh. Ia membuka pintu dan menemukan sebuah ranjang sederhana dengan sebuah nakas di sisi kiri kasur. Ada satu lampu tidur yang menempel di dinding. Juga ada sebuah lemari kayu tua dan sebuah meja beserta kursi yang masih menguarkan bau cat. Sepertinya baru saja di cat ulang.

Perfect LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang