Prolog 2: Amelia

173 4 0
                                    

Beberapa hari ini, pembawaan tubuhku sangat lemah. Aku bisa merasakan daya tahan tubuhku sangat menurun. Sendi sendiku sakit semuanya.

Aku menyadari ada sesuatu yang salah. Ada bintik bintik kecil di lenganku, dan memar memar di bagian pahaku.

Mama membawa bubur kekamarku, " Amelia, kamu coba makan sedikit yah."

Aku mencoba memakan bubur yang disediakan mama, selesai makan dua sendok, aku sudah tidak sanggub lagi.

Mama memandangku," Ini, kayaknya ngak mungkin flu biasa."

Aku tidak mau mama risau, " Mama, tapi kata dokter Endang, ini kan flu biasa saja."

Mama kelihatan gundah," Mama rasa, kamu bagusan ambil darah saja."

Mama mengelus rambutku," Kamu sanggub tidak ke prodia, atau mama telpon saja, suruh mereka yang datang."

Aku menjawab, " Masih sanggub lah, mama. Kita saja yang ke prodia."

Sore harinya kita ke lab untuk periksa darah, Mama memutuskan untuk mengambil laporan darah lengkap. Biar tidak dua kali kerjaan, soalnya pembuluh darahku lumayan halus. Untungnya suster yang mengambil darahku tadi sangat pintar dan berpengalaman, biasanya kedua lenganku harus biru biru, ditusuk sana-sini, karena sulit untuk menemukan pembuluh darahku.

Malamnya aku meminum panadol, karena aku merasakan badanku sakit semua.

Mbak iyem, pembantuku mengoleskan minyak gosok, sambil memijat mijat badanku.

Mbak iyem," Non, kamu ini loh, belajarnya terlalu diporsir. "

Aku cuma menjawab lemah," Iya mbak".

Keesokan harinya, kurang lebih jam sembilanan, sudah ada telpon, kalau hasil labnya sudah dapat diambil.

Mama sudah menelpon dokter Endang, dan membuat janji disekitar jam empatan sore.

Seharusnya hari ini, jadwal membawa Kiki, anjingku ke salon untuk dimandikan, tapi aku masih sangat lemas.

Aku keluar dari kamar, memanggil Kiki.

Perasaanku sedikit aneh, kenapa Kiki sedikit mellow, biasanya dia selalu aktif, minta untuk diajak bermain.

Aku whatapps Wendo, kalau hari ini aku bakalan ke dokter bersama mama.

Tidak ada firasat buruk apa-pun di hari itu, hanya aku merasa Kiki tidak seceria biasanya.

Tak sengaja, aku melihat amplop kuning dari prodia, karena iseng aku membukanya,

ternyata thrombosit ku dibawah angka normal, ada tanda bintang * disitu, feelingku, aku pasti kena deman berdarah.

Aku whatapps kembali Wendo, kalau thrombositku rendah.

Wendo membalas whatapps ku, kemungkinan besar aku kena deman menurutnya. Dia akan membawa jambu merah, dan bit katanya. Aku kurang suka bit, aku bilang kepadanya, baunya sengau. Tapi dia bersikukuh, kalau bit itu penambah darah.

Aku sebenarnya masih sangat lemas, kepalaku sakit sekali, males sekali rasanya mau pergi ke dokter.

Sesampainya ke dokter Endang, Mama menyerahkan hasil labku kepada Dr. Endang.

Dr. Endang mempelajari hasil lab ku cukup serius.

Aku bisa melihat raut wajah Dr. Endang menegang.

Dr. Endang berkata, " Saya rasa, Amelia harus diperiksa lebih lanjut. Saya belon bisa memastikan apa yang di derita, Amelia, sampai ada laporan medis menyeluruh."

Dr.Endang menuliskan sesuatu diatas kertas, sambil membuka handphonenya, " ini saya referensikan dokter Michael Kardita, dia ahlinya." Aku membaca kertas yang ditulis dokter Endang, ahli hemato-oncology, dr. Michael Kardita.

Mama tahu ada sesuatu yang tidak beres, " Dokter Endang, Amelia, menurut dokter kenapa ?"

Dokter Endang menolak untuk memberi tahukan, padahal dokter Endang, adalah teman mama.

Dokter Endang, " Nanti, saya akan coba menghubungin dokter Michael, saya cukup kenal baik dengan ayahnya. Dia termasuk pakar di bidang ini."

Mama tidak mau bertanya lagi. Aku juga tidak mau membuat mama risau.

Aku tahu mama berpura pura, seakan akan ini adalah no big deal, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Didalam mobil, diam diam aku google, hemato oncology, ternyata itu adalah berhubungan dengan kanker darah. Aku google lagi hasil labku, eritrosit dan thrombosit ku menurun dibawah rata rat normal. Leukosit ( sel darah putih) dan lymphosit ku , angkanya tinggi diatas rata rata normal. Ini aku lihat yang ada tanda bintangnya *, dilaporan labku. Setelah aku google, aku yakin pasti terkena Leukemia, atau kanker darah. Hati ini ingin menangis dan berteriak. Aku harus menutupi perasaan sedihku, aku harus memikirkan mama. Mama juga tahu, sesuatu yang besar , pasti terjadi, dokter Endang tidak pernah seperti ini. Mama tiba tiba berkata," Apapun, yang terjadi, semuanya kita hadapi bersama." Air mataku berlinang, tapi aku berusaha keras, untuk tidak mengeluarkan suara.

Transisi Dua JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang