003 Beautiful Dreams

21 4 0
                                    

Selamat pagi Jakarta. Kota dengan sejuta kesibukan. Kota dengan segala rutinitas yang padat.

Sekarang hari Senin, hari dimana semua pekerjaan bertumpuk setelah weekend. Aku bekerja sebagai agen humas di sebuah perusahaan. Dulu, ku pikir menjadi agen humas itu sangat menyenangkan, karena kita akan dilatih memiliki sikap yang baik hati, murah senyum, tidak sombong, banyak wawasan, banyak kenalan, dan yang terpenting adalah dapat memberi manfaat terhadap sesama. Ya sesuai sabda Nabi pikirku.

Namun kini ketika aku sudah mencapai mimpi itu, aku malah dilanda rasa bosan. Terkadang juga kesal, karena harus berhadapan dengan permintaan pelanggan yang aneh-aneh.

Aku jadi punya mimpi lain. Aku bermimpi menjadi bos saja. Sepertinya enak, bisa duduk-duduk santai serta memerintah karyawan sesuka hati, tanpa harus berhadapan secara langsung dengan pelanggan yang menjengkelkan. Ya baiklah, aku akan membuat perusahaan agen humasku sendiri suatu saat.

Aku berangkat ke kantor pukul 08.00 WIB. Sebenarnya aku masuk pukul 09.00 WIB, tapi aku tahu jalanan pasti akan macet, jadi aku mengantisipasi akan hal itu.

Aku terhalang oleh lampu merah. Aku mengetuk-ngetuk stir mobil berusaha untuk bersabar. Ketika aku memandang keluar jendela mobilku, aku melihat seorang bocah laki-laki yang mungkin usianya masih sekitar sepuluh tahunan. Ku lihat ia tengah mengais tong sampah di taman kota, sepertinya ia seorang pemulung.

Ia mencari barang bekas yang kemungkinan masih bisa didaur ulang seperti bekas botol minuman. Ketika ia mengambil botol bekas itu lalu memasukkannya ke dalam karung, bibirnya seolah mengucapkan sesuatu.

Aku kasihan melihatnya. Terik sang mentari begitu menyengat, membuatnya terkadang berhenti mengais sejenak, sekedar untuk mengelap keringat yang meluncur dari dahinya dengan punggung tangan.

Aku heran, mengapa di jam sekolah seperti ini ia masih ada disini? Apa pemulung benar-benar tidak bisa bersekolah? Entah mengapa ini menjadi pusat perhatianku. Aku tertarik untuk mendekatinya.

Tiiinn.. Bunyi klakson di belakang membuyarkan lamunanku. Segera saja ku injak pedal gasku. Bukannya menuju kantor aku malah memutar, berbelok menuju parkiran taman kota. Sungguh, aku benar-benar ingin mendekati bocah laki-laki itu.

Sebelum keluar dari mobil, aku mengambil uang seratus ribu dari dalam dompet dengan niat memberikannya pada bocah laki-laki itu. Aku keluar dari mobil dan berjalan mendekatinya.

Aku sudah sampai di belakangnya, tapi ia tetap memunggungiku. Apa bocah ini terlalu fokus untuk mencari barang bekas sehingga tak mendengar bunyi ketukan sepatuku?

"Hey, Dek, aku memiliki sedikit rezeki untukmu," ucapku sedikit membuatnya terkejut. Ternyata benar ia terlalu fokus.

Ia berbalik menghadapku lalu tersenyum dengan menunjukkan gigi-giginya. "Kakak kasihan kepada aku ya?" tanyanya beberapa saat kemudian. Refleks aku menganggukkan kepala.

Ia mengambil uang yang ku sodorkan padanya. Matanya berbinar dan bibirnya merangkai kata alhamdulillah serta mengucapkan kata terima kasih kepadaku. Namun setelah itu, ia berbalik lagi dan tetap mengais sampah.

"Hey, Dek, berhentilah mengais. Pulanglah, kau kan sudah mendapatkan uang," ungkapku. Ia akhirnnya berhenti mengais lalu kembali menghadapku.

"Kalau Kakak kasihan kepadaku, Kakak boleh memberi aku uang. Tapi aku mohon, jangan larang aku untuk memunguti barang bekas ini, Kak," katanya membuatku mengernyitkan alis heran.

Ayolah, jika seseorang memberimu uang agar kau tidak bekerja kau pasti akan menuruti perkataannya. Tapi entah mengapa bocah ini berbeda dengan orang-orang yang pernah aku temui sebelumnya.

The CaptionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang