Teman Kecil

273 5 1
                                    


Bangunan itu berdiri kokoh. Cat putihnya mulai luntur, noda terlihat dimana-mana. Dinding-dinding kuat itu masih bertahan hingga sekarang. Rumah paling ujung di desa itu terlihat paling mencolok dari rimbunan ilalang di bagian belakang. Di teras depan tampak sepasang kursi rotan dengan meja bundar empat kaki. Teras lantai kayunya dibiarkan kosong. Baru di halaman depan, banyak sekali bunga mawar tumbuh warna-warni mengikuti bentuk pagar kayu. Halaman itu penuh rumput yang setiap dua minggu sekali siap di potong tukang kebun rumah itu.

Di rumah itu tinggal gadis berumur dua puluhan tahun, gadis ceria di desa itu. Tidak ada saudara, karena ia dilahirkan tunggal. Di temani dua pembantu dan satu tukang kebun. Satu Ibu yang mencintai bunga-bunga dan satu Ayah yang sibuk sekali sepanjang hari. Meskipun ia satu-satunya, rumah itu tidak pernah sepi, anak-anak desa setiap sore akan datang menemani. Gadis itu menyukai anak-anak. Baginya, anak-anak adalah bahagia paling tulus.

Setiap pagi, rutinitasnya hanya menyiram mawar-mawar di halaman, memberi pupuk, membaca buku di teras, melihat tukang kebun menyapu halaman, atau hanya duduk di teras rumah sampai bosan. Jika sudah menjelang sore, ia bersiap dengan dua kardus berisi macam-macam mainan dan buku anak-anak, serta sekotak biskuit cokelat atau permen warna-warni di atas meja. Semua itu ia siapkan untuk menyuguh anak-anak kecil di desanya. Setiap sore mereka akan datang dengan membawa tugas dari sekolah, meminjam buku cerita miliknya atau sekadar hanya bermain untuk mendapat jatah permen.

Gadis itu memiliki senyum yang manis, matanya bulat penuh. Sangat menyenangkan. Orang-orang di desa tidak pernah bosan melihat dirinya. Selain karena ia cantik, gadis itu pada anak-anak selalu baik. Rambutnya panjang hingga ke punggung, sesekali ia kucir buntut kuda atau dibiarkan tergerai. Rambutnya halus dan hitam gelap. Kalau saja ia mau, ia bisa ikut pemilihan artis untuk iklan sampo.

Setiap kali ia menawarkan cokelat, semua bersorak senang berebut untuk mendapatkan cokelat. Gadis itu tersenyum. Ia tidak sedikitpun terlihat bersedih.

Meskipun ia tunggal, ibunya mencintai seakan tidak ada lagi hari. Meskipun sibuk bekerja, setiap makan malam ayahnya tidak pernah lupa untuk bertanya apa yang gadis itu kerjakan dengan anak-anak. Gadis itu sangat bahagia. Ia dicintai kedua orang tuanya, diperhatikan kedua pembantunya, juga disayangi oleh anak-anak desa dan orang tua mereka.

Gadis itu tidak hanya cantik, ia juga pintar. Lima bulan lalu ia selesai menjadi mahasiswa. Dan ia memilih kembali ke rumah, membantu anak-anak belajar atau sesekali ikut ayahnya ke kota. Mengikuti pekerjaan ayahnya sebentar, lalu mampir membeli buku-buku, untuknya, untuk ibunya, dan untuk anak-anak teman kecilnya. Otaknya tidak hanya sampai mengurus anak-anak itu, tapi tidak ada hal lain yang ingin ia lakukan selain kembali ke rumah. Hidup bahagia dengan kedua orang tuanya, dua pembantunya, tukang kebunnya, dan juga anak-anak desa.

Di teras rumah beralaskan tikar bergambar beruang kutup berbulu salju. Gadis itu membuka buku cerita, disaksikan anak-anak yang tidak sedang sibuk mengerjakan tugas dari sekolah. Ia memperagakan dongeng Tiga Ekor Beruang. Dengan tangannya yang terangkat, ia menjelma menjadi Bapak Beruang yang murka karena ranjangnya berantakan. Anak-anak itu terlihat takut, namun berubah air muka mereka saat gadis itu meneruskan ceritanya hingga tamat. Tidak lupa senyum lega muncul dari wajah ayunya. Anak-anak itu ikut merasa lega. Anak kecil di cerita itu tidak ketahuan oleh keluarga beruang. Ia selamat.

Gadis itu bertanya, siapa yang menyukai ceritanya. Semua menyerbu mengangkat tangan. Gadis itu tertawa bahagia. Puas, satu lagi ceritanya mereka dengar dengan antusias. Mereka berdiskusi, cerita mana yang akan mereka dengar besok dan lusa. Semua berebut menyebut judul. Menyerahkan buku-buku cerita dan menunjukan halamannya. Gadis itu tertawa, bahagia sekali.

Terdengar suara kecewa ketika gadis itu menutup perjumpaan sore mereka, anak-anak tidak ingin pulang. Namun hari sudah menunjukan langit yang mulai petang. Mereka tidak ingin kehabisan jatah makan malam mereka di rumah. Buru-buru mereka bereskan mainan dan buku-buku ke dalam kardus. Lalu berpamitan.

Rumpang.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang