Danil mendongakkan kepala, menatap Ibunya dengan wajah yang memelas. “Bunda maafkan Aku, mainanku rusak.”
Ibu Ambar mengusap lembut puncak kepala anaknya. Ia berjongkok untuk menyejajarkan tingginya dengan putra bungsunya. Senyum keibuan terbit dari bibir wanita paruh baya itu. “Sayang Kau tidak perlu minta maaf sama Bunda. Meminta maaflah pada Frans. Bunda sudah tahu semuanya.”
Gadis kecil bernama Erlina itu, berjalan perlahan menghampiri Frans. Saat sudah berada di depannya, punggung tangannya yang mungil menyeka air mata yang masih mengalir di pipi anak itu. “Kau tidak apa-apa?” Suara lembut gaya anak-anak, bertanya pada teman yang sangat disayanginya.
Frans menganggukkan kepala sambil melihat telapak tangannya yang mulai bengkak.
“Danil... Bukan Frans yang merusak mainanmu! Tapi Neo!” Ucap Erlina yang kebetulan melihat adegan Neo dan Frans. Hanya saja gadis kecil itu tidak berani berbuat apa pun, sama seperti Frans Ia juga takut dengan anak nakal itu.
Danil terkejut, ia semakin merasa bersalah. Anak itu kembali menatap Frans lantas berjalan menghampiri anak malang itu. “Frans... Bibi...” Ucap Danil sambil menatap anak dan ibu itu secara bergantian. “Maukah kalian memaafkan Aku? Aku mohon.” Imbuh Danil dengan raut wajah yang penuh dengan penyesalan.
Uang memang tidak dibawa mati, tapi tidak ada uang, hidup serasa mau mati.
Itulah yang dirasakan Ibu Hana saat itu. Kerasnya hidup di kota Jakarta, membuat Ia yang hanya sebagai orang tua tunggal harus banting tulang memenuhi semua kebutuhan sehari-hari. Pekerjaannya sebagai buruh cuci dan setrika pakaian, terkadang tidak cukup untuk memenuhi semua itu.
Uang kontrakan, bulanan sekolah Frans, listrik, dan kebutuhan lainya semua Ia tanggung sendiri.
Lelah, stres, dan putus asa, kadang membuat wanita itu merasa depresi. Semua masalah menjadi satu di kepala, menguras otaknya, membuat Ia terkadang merasa sulit untuk menahan emosi.
Tak jarang Fransisco yang tidak tahu apa-apa menjadi pelampiasan atas amarahnya.
Ibu Ambar tersenyum bangga pada Danil yang mau meminta maaf, atas kesalahpahaman itu. Secara perlahan Ia berjalan mendekati mereka yang masih berkumpul. Saat sudah berada di dekat Ibu Hana, Ia mengulurkan tangan lembutnya untuk meraih bahu wanita yang usianya jauh lebih mudah darinya. “Siapa namamu?”
Ibu Hana merunduk, sambil menyelipkan anak rambut pada daun telinganya. “Hana Bu,” Jawabnya tanpa menoleh pada orang yang bertanya.
“Hana...” Ucap Ibu Ambar dengan gayanya yang penuh wibawa. “Aku tahu, Frans itu anakmu, tapi tidak seharusnya Kau memberi hukuman seperti itu padanya.” Ibu Ambar menatap telapak tangan Frans yang masih merah karena luka. “Dia masih terlalu kecil, perbuatanmu itu, akan berpengaruh pada perkembangan mental dan bisa mengganggu jiwanya.” Imbu Ibu Ambar sambil menatap teduh Ibu Hana.
Ibu Hana yang masih merunduk tiba-tiba meneteskan air mata. Kata-kata Ibu Ambar membuat hatinya nyeri, sungguh Ia sangat menyayangi buah hatinya itu. Frans. Menggunakan punggung tangan ibu Hana menyeka air mata yang sudah mengalir di atas bibirnya.
“Tidak buruk, kalau Kau meminta maaf pada anakmu.” Suara keibuan mengalun dengan lembut dari mulut Ibu Ambar.
Ibu Hana menjatuhkan lututnya untuk menyejajarkan tingginya dengan Frans. Tangan lembutnya Ia ulurkan untuk meraih punggung anaknya, kemudian Ia memeluk erat tubuh mungil Frans. Matanya terpejam membuat air matanya kembali terjatuh, Ia menggigit bibir bawahnya yang bergetar. Hatinya terasa ngilu karena rasa penyesalan atas kesalahpahaman. “Maafkan Bunda sayang.” Ucapnya dengan suara yang sebenar sulit Ia keluarkan karena tangis yang sesenggukan.
“Jangan menangis Bunda. Kau boleh memukul kalau Aku nakal, tapi ku mohon dengarkan Aku dulu.”
Ucapan Frans membuat Ibu Hana semakin mengeratkan pelukannya.
Danil berjalan perlahan menghampiri Ibunya, tangannya mengulur meraih telapak tangan Ibu Ambar. “Bunda, masakan Ibunya Frans enak, Aku suka. Tadi aku menukar bekalku dengan bekalnya!”
“Lalu?”
“Aku ingin Dia yang memasak di rumah kita.”
Ibu Ambar tersenyum simpul memandang wajah polos anaknya.
“Hana.”
Ibu Hana melepas pelukan pada Frans, Ia berdiri dari duduknya, berhadapan dengan wanita yang memanggil namanya.
“Iya Bu...”
“Kau tahu...? Danil itu satu-satunya anak laki-kali ku. Kakaknya dua dan semua perempuan. Itu sebabnya Ayahnya sangat senang saat Ia lahir. Ia akan menjadi penerus keluarga kami, yang nanti akan melahirkan cucu untuk kami. Itu sebabnya sebisa mungkin menuruti permintaannya, tentu saja dengan catatan.” Ibu Ambar menggantung kalimatnya. Ia diam sejenak, menatap wajah letih Ibu Hana. “Apa kau bersedia bekerja di rumah kami? Demi Danil. Kalau kau bersedia pendidikan anakmu biar kami yang menanggungnya.”
Melihat keadaan tempat tinggal Frans, Ibu Ambar merasa, kehidupan anak dan ibu itu tidak lebih baik darinya. Apalagi Ia sempet mendengar jika Frans adalah seorang anak yatim. Atas dasar prihatin, Ibu Ambar menuruti keinginan Danil untuk memperkerjakan Ibu Hana di rumahnya. “Bagaimana?”
Danil merih tangan Ibu Hana, menariknya layaknya anak-anak seraya berkata. “Mau ya bibi... Aku mohon... Ayolah bibi.”
Ibu Hana tersenyum simpul, kata-kata ibu Ambar sedikit mengendurkan saraf otaknya. Lalu rengekkan Danil membuat Ia ingin menjawab. “Baiklah... bibi Mau.”
Hore... hore... hore...!
Ibu Ambar dan Ibu Hana tersenyum simpul melihat kebahagiaan yang terpancar dari wajah Danil.
Danil berjalan mendekati Frans yang sedang meniup telapak tangannya karena perih. Masih ada Erlina di sebelahnya “Apa Kau mau memaafkanku Frans?”
Frans tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.
“Mulai hari ini Kau adalah temanku,” Ucap Danil sambil memeluk Frans. “Maafkan Aku Frans.”
“Aku juga teman kalian kan?” Suara kecil Erlina mengalun lembut dari bibirnya yang mungil. Ia juga menghamburkan tubuhnya memeluk Frans yang masih dipeluk oleh Danil.
Ketiganya saling berpandangan, sambil tersenyum nyengir khas anak-anak, memamerkan giginya masing-masing.
Aksi tiga anak yang masih sekolah TK itu membuat bibir Ibu Hana dan Ibu Ambar kembali tersenyum bangga.
Setelah beberapa menit berpelukan, Danil melepaskan pelukan itu. Di susul oleh Erlina juga melepas pelukannya.
Mata elang Danil menatap teduh pada telapak tangan Frans. Ia mengulurkan tangannya lantas memegang lembut tangan itu. Lalu kepalanya menoleh pada Ibu Ambar yang masih berdiri di belakangnya. “Bunda Kita harus mengobati lukanya.”
“Tentu.”
Jawab Ibu Ambar dengan membuat semuanya tersenyum.
“Terima kasih Bunda.” Ucap Danil.
“Mulai sekarang Aku akan menjadi temanmu. Aku tidak akan membiarkanmu menangis lagi.” Janji Danil pada Frans.
“Aku juga!” Sergah Erlina.
“Terima kasih Danil, terima kasih Erlina.” Jawab Frans.
Ketiga anak kecil itu kembali berpelukan dengan erat.
Ditengah pelukannya, tiba-tiba mata elang Danil menatap tajam namun pandangannya kosong.
"Neo..." geram Danil di hatinya.Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal Love (End)
RandomCover by; @LilikCiah {LENGKAP} Militer & Bad Boy. Boy Love. 18++