Penantian 11

454 57 16
                                    

Pemakaman Wolfram dilaksanakan. Terdengar tangis duka mendalam menyelimuti Istana. Cheri-Sama berulang kali tak sadarkan diri. Dirinya tak kuasa kehilangan anak bungsunya. Conrad berusaha untuk tegar dan menguatkan ibu beserta hatinya, meski matanya agak sembab. Greta terus menangis dipelukan Gwendal. Gwendal seakan tak percaya salah satu adiknya pergi mendahului dirinya terlebih dahulu. Waltorana tidak bisa menerima kematian tragis yang menimpa keponakan kesayangannnya.

"Jika saja dia tidak mencintaimu mungkin dia masih berada disini." Waltorana mengatakan tepat disamping Yuuri yang memandang peti yang berisi tubuh Wolfram dengan pandangan kosong.

"Anak ini tidak pernah menuruti perkataanku. Dia tidak pernah menyerah untuk meraih cintamu. Tapi apa... apa yang didapat dia sampai akhir. Hanya kematian yang dia temui." Waltorana bergumam ekspresinya menunjukan senyum getir dan airmatanya mengalir perlahan.

"Kau sudah puas.... KAU PUAS MELIHAT KEMATIANNYA...
KAU PUAS MELIHAT PENDERITAANNYA...
KENAPA KAU HARUS MENERIMA PERTUNANGAN JIKA KAU TIDAK MENGAKUINYA....
SEHARUSNYA KAU MENOLAK AGAR CINTANYA PADAMU TIDAK TUMBUH BEGITU DALAM.
KAU SELALU MENYAKITI PERASAANNYA.
MEMANGNYA KAU TAHU APA TENTANG DIRINYA...
HAH...!!
JAWAB AKU... MAOU...!!
KAU...Kau... tidak tahu rasa sakit yang dipendam olehnya selama ini. Hanya karna cinta tidak bergunanya." Ucap Waltorana marah dan lirih dibagian akhir sambil mencengkram kerah baju Yuuri.

Yuuri yang mendengar semua perkataan Waltorana tak kuasa membendung isak tangis yang ditahan kuat olehnya. Perkataan Waltorana seakan menembus hatinya begitu dalam. Bagai luka yang tertabur oleh garam. Entah kata penyesalan seolah tak pantas diucapkan olehnya. Meski dirinya yang menggantikan Wolfram saat ini berada didalam peti, itupun juga belum cukup.

Murata mencoba menenangkan emosi Waltorana. Dia melepaskan kerah Yuuri secara kasar. Dan perlahan meninggalkan Istana. Dirinya tak kuasa harus berpisah dari keponakannya. Murata mencoba memberi dukungan untuk sahabatnya itu.

"Murata... bukankah aku begitu kejam. Aku tidak mau mengakui pertunangan dan menganggapnya sebagai kedok pertemanan. Bukankah menurutmu aku ini jahat." Murata hanya terdiam mendengar perkataan Yuuri yang terlihat frustasi.

Mata Yuuri tak pernah berhenti melihat tubuh yang saat ini begitu damai dan tersenyum didalam tidur panjangnya. Seolah semua yang dialami hanyalah mimpi buruk belaka.

"Kini aku mulai paham perasaanku padanya...
Aku sudah terlambat bukan?...
Aku... benar-benar orang yang bodoh." Isakannya tak mampu dibendung lagi.

"Kau memang bodoh Shibuya."

*

*

*

Rintikan hujan mengiringi kepergian Sang Pangeran dalam damai ke tempat pembaringan terakhirnya. Perlahan satu persatu meninggalkan tempat itu dan hanya menyisakan dua orang Yuuri dan Conrad.

"Heika, lebih baik kita kembali. Adikku sudah tenang dan damai disana. Mungkin saat ini dia bahagia." Tak ada jawaban dari Yuuri. Hujan seolah mengklamufse airmata dari kedua bola mata kelamnya.

"Conrad... jika kau membenciku aku menerimanya. Aku terlalu malu dengan diriku sendiri."

"Heika... aku memang marah padamu karena kau sudah melukai perasaannya. Tapi aku juga tidak bisa membencimu. Lagipula setiap orang bebas memilih cinta masing-masing. Cinta Wolfram pada Shinmakoku juga sama besar seperti rasa cintanya padamu Yuuri." Kaki Yuuri tak kuasa menampung beban tubuh dan hatinya. Dirinya jatuh berlutut dengan tangisan histeris. Kata-kata terakhir Wolfram terus membayangi pikiran Yuuri.

"Aku mencintaimu Yuuri."

"Aku juga mencintaimu Wolfram."




Maaf ya kalau sedikit...😅😆

PenantianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang