Prolog

57 6 4
                                    

" kata orang mimpi itu bunga tidur, dan indah adalah salah satu penafsirannya, kalau memang seperti itu, lalu kenapa mimpiku selalu dihiasi dengan luka dan rasa sakit?"

Seorang gadis kecil berusia 10 tahun meringkuk di sudut kamar mandi dengan memeluk kedua lututnya. Tubuh gadis itu bergetar ketakutan,bibir bawahnya ia gigit kuat kuat menekan suara tangisnya agar  tidak terdengar siapapun, matanya menatap sendu kearah batthub.

"Mama" lirihnya pelan

Air matanya tidak berhenti mengalir, membasahi pipi putihnya yang memucat. Wanita cantik yang berada didalam bathhub menatapnya dengan sendu, senyum tipis menghiasi wajah cantiknya yang memucat karena kehilangan banyak darah. Air yang berada di dalam bathhub sudah berubah warna menjadi merah, bercampur dengan darah yang mengalir dari pergelangan tangannya.

"Mama" lirih gadis kecil itu lagi, mengumpulkan semua kekuatannya kemudian merangkak mendekati ibunya. Tidak peduli dengan air bercampur darah yang membasahi piyamanya.

Jari jari mungilnya terangkat, menelusuri wajah pucat ibunya.

"Maafin mama ra" ujar sang ibu dengan lirih, sebenarnya dia tidak tega meninggalkan anak anaknya. Tapi dia tidak punya pilihan lain, dia benar benar tidak kuat , tidak ada lagi alasannya untuk bertahan.

Rana, gadis kecil itu menutup mulutnya dengan tangan kirinya, menahan suara tangisnya agar tidak terdengar, takut mengganggu adik kecilnya yang sedang tidur. Adiknya tidak boleh melihat peristiwa menyakitkan ini, cukup dia saja.

Tangis rana semakin kuat begitu melihat kedua kelopak mata dari wanita yang sangat dicintainya perlahan tertutup.

bibir bawahnya ia gigit kuat sehingga mengeluarkan darah, tubuh ibunya perlahan melemah seiring dengan tertutupnya kedua kelopak mata yang selama ini menatapnya dengan lembut.

Kedua tangan mungil rana terulur, melingkari leher ibunya yang masih berbaring di dalam bathhub, tubuhnya bergetar kuat, rasa sesak menghantam dadanya bertubi tubi. Gadis kecil itu belum paham betul arti kematian tapi melihat kedua kelopak mata ibunya yang terpejam damai, dia tahu kalau sang ibu tidak akan pernah membuka matanya kembali, dia baru saja kehilangan separuh jiwanya.

Kedua kelopak mata yang terpejam itu perlahan terbuka, menampilkan bola mata hitam yang terlihat sendu. Ada jejak air mata di kedua pipi putihnya, bahkan dalam tidur pun ingatan menyakitkan itu selalu membuatnya menangis. Gadis itu bagkit dari tidurnya lalu menyandarkan tubuhnya ke kepala ranjang, kedua tangannya menutup wajahnya yang sembab. suara isakan perlahan keluar dari bibirnya, dadanya terasa sangat sesak setiap kali mengingat tentang kematian ibunya.

Tidak ada satupun anak yang baik baik saja saat menyaksikan hidup ibunya yang berujung tragis, bayangan tentang sang ibu yang terbaring  yang lemah di dalam bathhub dengan luka menganga di pergelangan tangannya selalu menjadi mimpi buruk baginya.

Ada luka yang masih bersarang di dalam hati rana, 13 tahun sudah berlalu tapi luka itu masih terasa sangat basah, bukannya perlahan membaik, luka itu justru membuatnya semakin tersiksa. Menciptakan luka baru yang bernama kenbencian.

Rana mengulurkan tangannya membuka laci meja yang berada di sisi ranjang, dia meraih benda tajam disana mengarahkannya ke lengan kirinya yang penuh dengan bekas luka.

Gadis cantik itu memejamkan matanya, menikmati rasa sakit yang perlahan tercipta dari goresan pisau kecil di lengan kirinya. Darah perlahan mengalir dari luka di lengannya,tapi dia tidak peduli, dia tidak akan mati karena luka sekecil itu. Dia bukan ingin bunuh diri, dia hanya perlu mengalihkan rasa sakit di dadanya. Luka yang tercipta dari pisau cutter itu  selalu membuatnya merasa lebih baik. Setidaknya rasa sakit di hatinya bisa teralihkan.

Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang