Langit nan luas menjadi saksi
Senjaku ini paling berarti
-Fajar・⊝・∞・⊝・∞・⊝・∞
Pagi ini Fajar berangkat bersama Mentari, seperti biasa mereka mengisi pagi dengan mengunjungi kantin. Mereka berdua menyukai suasanan kantin di pagi hari, sepi. Tidak perlu mengantri.
"Pagi Mpok Entin!!" sapa Fajar dengan penuh semangat.
"Pagi, Mpok!" Tak lupa Mentari pun ikut menyapa sang penjual di kantin sekolahnya itu. Dia Mpok Entin, wanita berusia 45 tahun yang masih setia menggeluti pekerjaannya demi membiayai hidup keluarganya.
"Aih, kalian?! Pagi-pagi udah bareng aja," ucap Mpok Entin
"Iya dong! Harus! Iya gak, Tar?"
"Iyain, biar diem."
"Kampret!" Mpok Entin terkekeh geli melihat pertengkaran kecil mereka.
"Mau pasan apa kalian?"
"Seperti biasa, Mpok!"
"Bubur ayam, gak pake daun bawang, sambalnya yang banyak, ga pakai kedelai, kuahnya yang banyak, dan teh manis hangat?" Mpok Entin sudah hafal dengan pesanan Fajar yang hampir setiap pagi sarapan di kantin.
"Seratus buat Mpok Entin yang cantik ini!" kekeh Fajar.
"Ada-ada aja kamu, Jar. Mpok jadi malu," sahut Mpok Entin dengan pipi yang merona. Fajar dan Mentari sontak tertawa, melihat perubahan pipi Mpok Entin.
"Kalo Neng Mentari mau pesan bubur ayam juga?" tanyanya.
"Mau nasi goreng aja, Mpok. Sama teh hangat juga."
"Yaudah, tunggu dulu ya? Nanti si Jumi yang antar."
"Jangan lama-lama, Mpok! Nanti aku mati kelaparan nunggu buryam itu."
"Bisa aja lo, Jar!" ujar Mentari. Mereka berdua melenggang mencari tempat duduk. Mereka lebih memilih duduk berhadapan.
Tak menunggu lama, pesanan mereka diantar oleh Jumi, anak Mpok Entin yang sudah berumur 22 tahun. Ekonomi yang menyebabkan Jumi, harus rela terhenti dari bangku sekolah.
"Makasih, Mbak!" ujar Fajar.
"Iya, Mbak. Terima kasih," sambung Mentari. Mereka berdua langsung melahap sarapan yang telah mereka pesan.
Mata Fajar menangkap sosok siluman harimau yang melangkahkan kakinya ke warung Mpok Entin.
"Tar?" panggil Fajar sembari menyeruput teh hangatnya.
"Hm."
"Gue minta tolong boleh?" Mentari mendongkakan wajahnya untuk menatap Fajar.
"Apaan?"
"Nitip bayarin, ya? Ini uangnya." Fajar menyerahkan uang selembar bernominal dua puluh ribu.
"Oh, oke, btw lo mau ke mana?" tanya Mentari.
"Ada tugas negara, tolong, ya, Tar?" rengek Fajar.
"Oke-oke santai," balas Mentari singkat. Gadis itu melanjutkan makannya, sementara Fajar sudah bangkit dan bersiap melangkah menghampiri siluman harimau.
"Oke, jar! Kita buat siluman harimau itu jadi manusia! Lo bisa, pasti bisa! Secara? Fajar ganteng!" batin Fajar menyemangati. Dia menguatkan mental, jaga-jaga siapa tau siluman harimau itu mengamuk dadakan.
"Selamat pagi, Kak Aurina!" sapa Fajar sembari menampilkan senyum yang menawan.
Ina memberi tatapan tak suka kepada Fajar, "Lo lagi, Lo lagi! Kapan sih lo ga ganggu hidup gue, ha?!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Nabastala
أدب المراهقينCollaboration with @_Rainduuu "Kita hanyalah senja dan fajar yang menjadi penghias nabastala." - Fajar Ramadhan "Ya, senja dan fajar yang tidak pernah dipersatukan oleh langit." - Aurina Afrilia Mereka berdua diciptakan oleh keindahan, namun sayang...