Chapter ini isinya flashback ya. Karena terlalu panjang jadi aku bagi jadi dua part. Bakal double update kalo emang pada mau hehe. Ditunggu commentnya ya!
With love, From The Moon........
"Nope. Negatif, yang." ujarku sembari memperlihatkan kepada Johnny hasil tes kehamilan yang aku lakukan tadi.
Aku menghela nafas yang tidak kusadari kutahan sedari tadi. Padahal sudah kukatakan pada diriku agar tak begitu berharap pada hasilnya. Namun percuma, tetap saja aku kecewa. Aku dengan rutin menandai jadwal bulananku, tak kupungkiri aku sumringah ketika jadwal bulananku itu terlewat, semakin berharap ketika sudah sepuluh hari tamu bulanan itu tak mengetuk pintu.
"Yaudah gapapa yang. Sedihnya jangan kelamaan ya yang." Suara Johnny membuyarkan lamunanku. Suara lembutnya berusaha menenangkanku.
Johnny menghampiriku untuk mendekapku dalam pelukan hangatnya. "Kita kan masih muda yang, masih panjang masanya kita. Lagian kemarin udah kontrol juga ke dokter. Denger kan kamu kalo kata beliau kita sehat aja kok buat punya anak? Emang cuma masalah waktunya aja, belum rejekinya aja kita punya anak."
"Tapi yang, kita udah nunggu tiga tahun. Rumah sebesar ini rasanya sepi kalo cuma kita berdua doang, apalagi kalo kamu lagi kerja, belum lagi dinas keluar kotanya. Aku bosan sendirian." Aku mendongak menatap sedih netra Johnny.
Jujur aku sedih. Aku begitu mendambakan buah hati untuk hadir di keluarga kecil kami. Sebelum memutuskan untuk menikah, aku memiliki bayangan untuk menikah dan memiliki anak di usia muda. Bahkan, ketika baru beberapa hari menikah, sudah banyak rencana yang kususun ketika kami nanti memiliki buah hati. Sudah kubayangkan mini-Johnny atau bahkan mini me, berada bersamaku dan Johnny berbahagia bersama di rumah ini.
Johnny mengusap suraiku seraya berkata lembut padaku. Seolah menenangkan anak kecil yang kehilangan mainannya. "Iya, aku juga pengen kok punya anak apalagi kalo kamu yang jadi ibunya mereka. Tapi aku jadi makin sedih kalo liat kamu sesedih ini."
Mengeratkan pelukannya, Johnny mencium puncak kepalaku. "Kamu jangan stres ya mikirin ini, kalo kamu stres nanti siklus kamu makin nggak lancar dan malah bikin kamu nggak sehat nantinya. Kalo perlu, kamu gausah nandain kalendermu biar kamu lupa sama jadwal bulananmu."
"Yuk sekarang sarapan dulu. Pasti kamu capek abis nangis gitu. Udah aku siapin makan buat sarapan di bawah." Johnny mengajakku turun untuk pergi ke ruang makan.
"Makasih yang, kamu udah baik banget ke aku. Maafin aku kalo aku belum bisa jadi istri yang baik buat kamu, maaf aku belum bisa—"
Johnny mengecupku. Di bibir. "Udah ah gausah minta maaf. You are the best for me. To me, you are perfect. I'm a lucky man to be your husband. Don't say otherwise, ayo kita makan!"
........
Semenjak kejadian pagi itu, aku mengikuti saran Johnny untuk tidak menandai kalenderku lagi. Benar saja, aku merasa lebih tenang karenanya. Meskipun kami menjadi lebih santai, bukan berarti kami menyerah. Kami tentu saja tetap mengusahakan berbagai macam cara untuk memiliki buah hati. Mulai dari menerapkan berbagai cara tradisional yang didapat dari orangtua serta kerabat kami hingga berkonsultasi dengan dokter untuk mendapatkan metode secara ilmiah. Johnny selalu ada bersamaku dalam melakukan ini semua. Ketika tamu itu masih rutin datang menyapa, dia selalu menyemangatiku like no other. "Kalau memang belum berhasil, ya berarti belum rejeki kita toh? Memang belum waktunya saja. Sesederhana itu." ujarnya seraya memelukku hangat. He is really my rock and solid to hold.
Kehidupan kami tentu saja tetap berjalan seperti biasanya. Aku dan Johnny sarapan pagi bersama seperti biasa kemudian nanti Johnny akan mengantarkanku ke tempat kerjaku terlebih dahulu sebelum ia pergi ke kantornya.
"Nanti telfon aku ya yang mau dijemput jam berapa." Johnny memberhentikan mobil di lobby depan kantorku.
"Siap kapten! Nanti aku kabarin kamu aku jam berapa aku selesai kerjanya. Kamu jangan lupa bekalnya dimakan ya, aku gamau kalo nanti kotak bekalnya masih utuh pas udah di rumah!" Ucapku seraya melepaskan sabuk pengaman.
Johnny terkekeh. "Iya sayang, gak lagi deh bekalmu gak kumakan. Maafin kemarin sibuk banget jadi lupa makan hehe." Johnny menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Yaudah aku turun dulu ya, semangat kerjanya Pak Johnny! Nanti kita ketemu lagi, aku pamit dulu" pamitku kepadanya setelah salim dan tidak lupa dia mengecupku sebelum membiarkanku turun dari mobil.
.......
Kerjaan di kantorku begitu sibuk. Aku masih berkutat dengan tumpukan berbagai macam laporan ini. Laporan penggunaan anggaran, laporan output kegiatan, hingga laporan rutin bulanan yang harus kusampaikan kepada atasanku hari ini. Kepalaku terasa pening, ah mengapa aku harus tidak enak badan di saat banyak kerjaan sih? kesalku.
"Kok mukamu pucet banget? Lagi sakit ya?" terdengar suara mbak Wendy, senior di kantorku. Oiya, dia juga teman Johnny semasa kuliah.
"Eh enggak mbak cuma pusing aja kok karena kebanyakan mikirin kerjaan hehe. Makanya ini mau ke pantry bikin minum sambil break bentar."
Saat aku bangkit dari mejaku, pandanganku berubah menjadi gelap.
.......
Saat aku membuka kedua, aku sudah terbaring di kamar serba putih yang berbau khas rumah sakit ini.
"Udah bangun yang? Butuh apa? Mau minum?" Johnny muncul dari toilet.
"Kok ada kamu disini? Gak kerja emang yang kamu?" bukannya menjawab pertanyaan Johnny, aku balik bertanya padanya.
"Tadi aku ditelfon sama kak Wendy, katanya kamu pingsan terus dibawa ke rumah sakit. Yaudah aku langsung kesini. Masalah kerjaan udah aku bilang ke sekretaris aku buat di-resched. Aku juga udah nyampein surat cuti sakit kamu kok ke kantor. Udah ya, tuan puteri istirahat aja disini gausah mikir apapun lagi ya." Johnny menjelaskan padaku sambil menahan senyum.
"Apaan sih kenapa senyam senyum gitu, kan aku lagi sakit kok kamu malah seneng sih yaaang. Aku pusing padahal gaenak badan gitu daritadi pagi." keluhku.
"Udah gaenak badan daritadi pagi? Kok gabilang sih, tau gitu mah kamu ga aku bolehin ngantor yang hari ini kalo tau kamu sakit mah." Johnny mengelus kepalaku.
"Banyak laporan yang harus disampein hari ini yang makanya ga ambil izin sakit." keluhku sambil melipat kedua tangaku di depan dada tanda aku sebal.
Johnny mencubit pipiku sambil tersenyum lebar. "Jangan gitu dong, kalo kamu sakit kan kasian adek bayinya kalo Ibunya sakit, nanti si adek bisa ikutan sakit yang."
"Ya bagus dong kalo aku sakit gak sendirian, bisa ditemenin si adek bayi—, eh kamu bilang apa? Adek bayi? Ibunya?— maksudmu? Aku—?"
Johnny mengangguk dan masih tersenyum lebar. "Iya, udah jalan dua bulan. Selamat ya calon Ibu."
Aku memeluk Johnny seketika dengan erat. "Kamu ga bohong kan? Gak lagi bercanda kan?"
Johnny melepaskan pelukanku, "Yakali ah aku bercanda, tadi dokternya yang bilang ke aku. Kalo kamu ga percaya cek aja sendiri. Aku udah beli kemarin buat kamu ngecek sendiri."
Johnny memelukku yang membasahi pundaknya dengan air mata dengan erat dan mengecupku. "Terimakasih ya istriku, terimakasih banyak."
Finally, it happened. The miracle we've been waiting for, it's finally here! We couldn't be happier than this. This is the best day in our life.
![](https://img.wattpad.com/cover/184176295-288-k579667.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Keluarga Beruang🐻
FanfictionKukira, anakku cuma dua. Kakak Mark dan Abang Ecan. Ternyata aku lupa bayi besarku, Ayah Johnny suamiku tersayang.