Hujan dan Sampul Buku

106 36 63
                                    

Semburat kelabu yang mewarnai angkasa Februari sedari pagi akhirnya menumpahkan isinya. Titik air turun sedikit demi sedikit hingga akhirnya berpeluru. Menelan semua suara yang dihasilkan dari sebuah kelas yang terletak di pojokan berkat benturan air hujan dengan atap sekolah. Hujan deras seakan meredam semua suara yang ada pada sekolah bercat dominan cokelat itu.

Seorang lelaki jangkung mengacak rambutnya frustasi, tugas sejarah yang satu nomor saja jawabannya membutuhkan satu halaman kertas penuh membuatnya ingin mengunyah beling sekarang juga. Pelajaran sejarah di kelas lelaki itu kosong, tapi mereka tetap diemban tugas mengerjakan soal sebanyak 15 butir, tugas yang membuat lelaki itu mengacak rambut tebalnya hingga berantakan tidak berbentuk, persis seperti gembel.

Lelaki itu menyandarkan punggung lebarnya pada sandaran kursi sembari meregangkan jemarinya yang dipaksa kerja rodi. Rungu lelaki itu lalu menangkap suara gaduh dari kelas sebelahnya,

"Pasti kelas sebelah jamkos juga tapi nggak dikasih tugas. Enak bener," pikirnya,

Lelaki itu juga mendengar senandung riang di iringi petik gitar yang senapas dengan denting hujan, mengangkasa mengisi melankolis mencipta juntaian musik pada hujan di siang menjelang sore hari ini.

Lelaki itu beranjak dari singgasana bangku kayunya. Meninggalkan secarik kertas yang telah ia nodai dengan tulisan amburadulnya,

"Kemana, bro?" Tanya seorang kawan lelaki itu yang duduk di belakangnya,

"WC."

Lelaki itu berjalan gontai seperti zombie kekenyangan ke arah pintu. Tangannya mendorong daun pintu yang terbuka sedikit agar terbuka lebar sehingga tubuh jangkungnya bisa keluar.

Lelaki itu menapakkan kakinya pada udara luar kelas. Netranya menangkap kelabu mega beserta air hujan yang turun seperti jarum-jarum yang berjatuhan. Didapatnya pohon mangga yang berdiri gagah disamping aula dengan daun-daunnya yang bergerak-gerak akibat hujaman rintik pada tiap lembarnya. Gelap merasuk lorong kelas sehingga lampu sepanjang lorong mulai dinyalakan. Gelap mulai dikalahkan oleh temaram putih lampu yang melawan dingin udara.

Lagi-lagi lelaki itu mendengar suara petikan gitar beserta senandung riang dihias gelak tawa dari arah kanannya. Ia pun menoleh ke asal suara, rupanya segerombol penghuni kelas sebelah sedang duduk melingkar, salah satu dari mereka memetik gitar sedang yang lain bernyanyi.

Sesuatu dari gerombolan tersebut menarik penglihatan lelaki itu. Bukan gitar yang bermerk mahal, bukan pula paras si pemetik gitar yang tampan, melainkan sebuah buku bersampul warna merah yang sepertinya ia kenal.

Netra lelaki itu ia tajamkan, dan benar saja, buku bersampul merah itu adalah buku yang selama ini menghantu memorinya, bukan memori yang apik, justru menampik. Buku berjudul A Court of Thorns and Roses karya Sarah J. Maas.

Mata sayu lelaki itu berpaku pada buku merah yang tengah berada di tangan seorang gadis. Entah kenapa pupil lelaki itu bergerak melihat siapa yang memegang buku bersampul merah itu.

Seorang gadis dengan kulit kuning langsat menunduk menghadap lembaran kertas pada buku di hadapannya. Mata sipit yang membayang degup hujan menatap dalam tiap aksara, memperlihatkan ia tengah terseret dalam lembar demi lembar rinai kisah. Rambut hitam lurusnya tergerai bebas, tiap helainya melempai lemah pada bahu kecil gadis itu.

Gadis itu lengang di antara seronok senandung dan derai gitar di sekelilingnya. Seakan dentum hujan lebih cocok merengkuh tubuh kecilnya.

Tiba-tiba mata almond gadis itu terlempar dari lembaran buku di hadapannya, yang kemudian menjumpa iris kelabu lelaki itu dan mencipta sebuah temu. Lelaki itu terperangah sejenak mendapati mata sipit gadis itu menatap lurus mata sayunya, ia segera melempar pandang pada lantai putih tak bersalah yang sedikit basah karena air hujan yang jatuh di balkon. Lelaki itu membalikkan badannya sambil mengacak-acak rambutnya, ia kembali tertuju pada tujuan awalnya keluar kelas, yaitu ke toilet.

Lelaki itu mengacak rambutnya malu, langkahnya gontai dengan tempo tak tentu. Sedangkan si gadis terheran mengapa pupil hitam mereka bisa bertemu.

************************************

Halo,
Ini karya pertama saya,
Jadi...
Maaf kalau ada ketidak sreg-an dalam setiap kata,
Dan ceritanya agak blur ya,
Kayak muka saya..
Pokoknya,
Saya minta saran dan commentnya,
Sama vote nya juga ya, haha,
Terimakasih banyak bagi kalian yang sudah mau membaca karya saya,
Semoga kalian suka💕

Oh iya,
Baskara disini benar-benar ada di dunia nyata saya😂

BaskaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang