Baskara berdiri kaku didepan belas hampir puluh mata yang menyorot eksistensinya. Mulutnya ia tutup rapat setelah jajaran kalimat ia ucap agar semua orang di ruangan itu mengetahui namanya.
Tangannya ia simpan di belakang pinggang rampingnya, saling menggenggam. Matanya ia edarkan pada satu persatu wajah yang menatapnya bak karya seni yang dimuseumkan, seolah dirinya adalah tontonan.
Ia layangkan pandangnya pada semua wajah di ruangan itu, menilik ekspresi pada tiap gurat sang empu, menerka bagaimana ekspresi yang mereka munculkan saat melihat manusia tiang macam Baskara berbicara di depan mereka.
Hingga akhirnya pandangnya mendarat pada satu titik dimana sepasang mata seorang gadis menatapnya penuh terka, sepasang mata sipit yang mengerjap dengan iris cokelat yang menyimpan langit oranye di dalamnya, merampas paku Baskara terhadapnya. Rambut hitam lurus tergerai lemah bak air terjun yang turun dari ubun-ubun gadis itu dan berhilir di bahu, rambut yang mengingatkan Baskara pada seorang gadis pada hujan hitungan menit lalu yang beradu dengan manik hambar yang tengah terbenam pada padang kisah sebuah merah sampul buku.
"Itu perempuan yang tadi baca buku di balkon waktu hujan," Bisik tiup angin lalu,
Manik mereka mencipta satu garis lurus, saling terkunci pada binar dan bisik minda masing-masing yang berputar. Baskara yang terbeku berkat kedua kalinya hujan mempersembahkan sebuah temu, sedang gadis itu terpaku berkat tanda tanya yang menjuru pada lelaki itu.
Detik tertiup lalu oleh udara yang Baskara hirup. Satu detak tak normal berdentum pada jantungnya begitu menyadari sekali lagi mata mereka bertemu. Dan sekali lagi Baskara lemparkan pandangnya pada lantai putih tak bersalah. Entah, semuanya ia lempar pada lantai putih, ingin rasanya lantai putih meneriaki Baskara jika bisa, "Kenapa kau lempar ke aku tatapanmu itu?! Pengecut! Tatap baik-baik! Salah sendiri ketahuan kau baru menatap dia!".
Dan kalau itu benar-benar terjadi, Baskara ingin menjawab bahwa sebenarnya dia tidak sedang menatap gadis itu, kebetulan saja mata mereka bertemu, dan ini sudah kedua kalinya sejak ia melihat gadis itu di balkon saat hujan beberapa jam lalu, tapi kan tetap saja rasanya berdesir malu.Baskara menyudahi perkenalan dirinya, cukup sudah raganya mematung karena sorot manusia di ruangan ini--- dan tentu gadis tadi.
"Sekian perkenalan dari saya. Terimakasih."
Lelaki itu berjalan lemau macam avertebrata, mengikuti langkah kakinya menuju tempat dia duduk semula, dan lagi, dengan mengacak-acak rambutnya. Mungkin saat ini lantai putih tengah membalaskan dendamnya pada Baskara, tali putih pada pasang sepatu kanan yang sedari tadi ingin menjamah sarung sepatu kiri akhirnya mencapai keinginannya, menggapai alas pasang sepatu kiri membuat Baskara kehilangan keseimbangan kemudian terjungkal kecil. Kikik kecil manusia memenuhi ruangan melihat laku Baskara yang sekarang menahan malu sembari memaki tali sepatu putihnya.
Kasihan, padahal mereka cuma ingin menyatu.
****
"Kirana Agnimaya."
Kakak kelas yang merupakan senior diantara anak-anak kelas 10 berpantat hijau memanggil secarik nama yang membuat seorang gadis bermata sipit menegakkan telinganya. Ia segera maju ke depan memenuhi suruh kakak kelas itu untuk mengenalkan dirinya, sama seperti apa yang dilakukan beberapa orang sebelumnya.
Gadis itu beranjak dari peradabannya lalu berjalan ke depan, yang tanpa ia tahu langkahnya diikuti oleh lirik dari Baskara. Gadis itu berdiri di depan, semua mata memerhatikan, tak pelak Baskara yang pula menatap gadis itu menunggu namanya ia sebutkan. Karena Baskara berpikir, totalnya dua kali sudah mereka ditautkan hujan akan pertemuan, dan dua kali pula tatapnya pada gadis itu selalu ketahuan, tapi Baskara bahkan tidak tahu nama perempuan itu untuk sebuah panggilan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baskara
Teen FictionIa lelaki biru ditengah hujam waktu, Ia lelaki yang merumitkan segalanya dalam pikirannya tanpa menyatakannya dalam kata, Ia lelaki pecinta guratan pena diatas lembaran hampa, Ia lelaki pecinta aksara ketika orang lain tergila pada hiruk pikuk dunia...