"Tertulis pertemuan kita dalam suatu detik yang tak terlupa,
Ketika kesima menyita netra,
Pada hampa yang terpenjara,
Di manik tertutup surai hitam lampas terhempas udara,Kusimpan mereka dalam saku celana rombeng yang biasa kuguna,
Kuabadikan dalam kelabu mega yang mengangkasa,Agar ketika hujan turun, bayunya mengenai kulitmu dan kau teringat akan kita."
🍃🍃🍃🍃
Sekolah bercat dominan cokelat ini sesaat lagi akan bernyawa. Senja di ujung kota itu menjadi pertanda bahwa sebuah pensi akan segera bermula. Pensi yang dimeriahkan pada tanggal 20 Juni tiap tahunnya dalam rangka selebrasi lahirnya sekolah tercinta. Pendar lampu warna warni yang diatur sedemikian rupa mengerjap mengisi kosong silau jingga yang dalam hitungan waktu lagi hendak menutup usia.
Warna-warni semarak mulai terasa, padahal senja masih berjarak beberapa senti dari cakrawala. Sekolah bercat cokelat itu mulai disemuti dengan manusia. Beberapa membebaskan tawa, beberapa bercengkerama. Mereka penuh warna, seperti kedip lampu yang memeriahkan gempita, memberi warna pada langit oranye yang perlahan membiru tua. Detak bahana yang selaras dengan sorot jingga pada bentang dirga turut menghidupkan senyap yang mengudara.
Ini belum puncaknya, ini masih lembah dengan angin semilir yang belum menusuk raga. Puncaknya nanti malam, ketika matahari benar-benar tenggelam. Ketika matahari benar-benar hilang dari pandang dan dilupakan. Meriah pensi akan membunuh sunyi langit berlatar hitam. Hingar tawa akan melawan dingin udara yang menyekap raga. Hitam akan dikalahkan oleh warna.
Gemerlap lampu seakan menjadi gemintang tersendiri bagi bangunan cokelat ini, seperti aldebaran dalam genggam. Panggung raksasa berwarna merah menyala di halaman sekolah itu di pasangi beberapa sound system yang nantinya akan menyerap semua indra ke sana. Meriah dekorasi seperti membuat lupa bagaimana rupa sekolah ini yang asli. Beberapa stand makanan juga bersiaga diri barangkali orang-orang yang hadir minta perutnya di isi nanti.
Lelah dengan manusia yang bersua dengan hingar, aku menemukan diriku sedang jongkok sendiri di depan aula, tempat kami, ekskul teater menyiapkan diri. Aku sekarang tampak seperti seorang introvert pemurung yang tengah menimbun masalah hidup, membuat orang-orang berlalu lalang yang melihatku mengernyit kasihan. Tidak, aku hanya bosan, lelah dengan darat yang penuh manusia beserta bahak lepasnya, lebih baik aku mengadah membaca langit dengan kolong kelabu heningnya.
Kami ekskul teater akan menampilkan sebuah pertunjukan drama musikal pilihan kami nanti, setelah penampilan dari ekskul dance. Kami menampilkan drama musikal dengan mengangkat cerita dari dongeng berjudul Cinderella. Mainstream, ya, ceritanya, sebenarnya aku sempat usul cerita lain yang agak berbeda, yaitu kisah A Court of Thorns and Roses, tapi ketua bilang jangan, banyak yang nggak tahu ceritanya. Ya kalau begitu kalian cari tahu dong, usaha sedikit, dari pada cerita Cinderella yang pasaran bahkan adikku yang masih SD saja bosan. Dasar, orang kok cuma cari gampang.
Jadi kesal sendiri aku mengingatnya, pengetahuan mereka tentang karya-karya klasik rendah, yang di tahu cuma kartun disney.
"Kirana."
Aku terpanggil oleh sebuah suara berat yang memecahku dari lamunan, belum sempat menoleh ke asal suara, yang memanggil sudah mendaratkan pantatnya saja di sebelahku,
"Dimakan."
Sebuah wadah styrofoam putih berisi mangga kuning segar yang di potong kotak-kotak disodorkan padaku, dua buah lidi pendek ditancapkan pada dua buah mangga sebagai media untuk memasukkan mangga ke mulut,
KAMU SEDANG MEMBACA
Baskara
Teen FictionIa lelaki biru ditengah hujam waktu, Ia lelaki yang merumitkan segalanya dalam pikirannya tanpa menyatakannya dalam kata, Ia lelaki pecinta guratan pena diatas lembaran hampa, Ia lelaki pecinta aksara ketika orang lain tergila pada hiruk pikuk dunia...