EMPAT

52 6 3
                                    

Lelaki itu datang menghampiriku. Ia membawa ice cream ditangannya. Apakah ia mengingatku?

Dia berjalan sambil tersenyum, la membawa dua ice cream ditangannya. Lalu, tiba tiba saja ice cream nya jatuh karena ia tersandung batu. Yaampun, aku benar benar tak tahan untuk tidak menertawakannya.

"Yah, ice creamnya jatuh" ia mengambil wadah ice cream tersebut dan membuangnya di tempat sampah.

Aku menghampiri lelaki tersebut dengan tawa yang sedari tadi kucoba untuk menahannya.

"Lain kali, kalau jalan itu yang bener. Terus lihat jalan, bukan malah senyum"

"Ee... Eehh iya..." Ia menjawabnya dengan kikuk. Seperti Tikus kejepit.

Aku memperhatikan wajahnya. Ia sangat tampan. Pawakannya tinggi dengan bahu yang begitu luas. Mungkin jika aku bisa beridiri dan berada di sampingnya, ralat. Lebih tepatnya di belakangnya, aku pasti tidak akan terlihat. Karena, kata dokter, jika aku bisa berdiri, maka tinggiku saat ini hanyalah 155cm. Begitu mungil bukan.

“Permisi, tinggi kamu berapa?” ya, pertanyaan bodoh macam apa ini. Dari sekian banyaknya pertanyaan, mengapa harus pertanyaan bodoh itu yang keluar. Dasar.

“serratus tujuh puluh Sembilan senti meter, memangnya kenapa?”

“Ah, enggak. Gapapa kok cuman nanya.” Demi apa, aku benar benar kikuk. Dasar gila, gaada pertanyaan lain apa. Kenapa harus itu?!

“Rumah kamu daerah sini?”

“Iya, kamu juga?”

“Enggak sih, kesini cuma mampir ke rumah temen. Mau ambil barang.” Uuuh, untunglah dia pandai mencari topik. Dan, mengharap apa sih. Berharap dia tinggal disini juga? Dasar aneh.

“Eh lupa, ini ice cream kamu.” Lelaki ini mencondongkan ice cream vanilla ke depanku. Padahal aku gak minta. Aneh.

“Aku? Gak salah kasih?” koreksiku, sebelum ternyata itu milik orang lain.

“Iya, siapa lagi.”

“Tapikan aku gak minta.” Sambil aku ambil ice cream nya, kan lumayan dapat gratis.

“Harus yaa.”

Kami berdua duduk di bangku taman. Seperti biasa, aku hanya duduk di kursi roda sambil menikmati ice cream rasa vanilla. Ah iya, aku lupa menanyai namanya. Dia benar benar seperti Gandi. Semoga saja iya.

“Nama kamu siapa?”

“Nama kamu Gladis?” eh, kok malah dia yang nanya balik. Bukankah dia sudah tahu. Aku hanya mengangguk angguk.

“Namaku Abimana.”
Apa? Abimana? Kenapa bukan Gandi? Kenapa dia memiliki sikap yang sama seperti Gandi? Kesedihanku kembali datang. Pasalnya, nama lelaki ini ialah Abimana. Padahal, aku sungguh berharap jika dia adalah Gandi. Ya, aku memang takpernah dalam usaha berjuang. Berjuang untuk mencari tahu tentang Gandi.

“Panggil saja Abi.” Sambungnya.
Aku benci diriku yang seperti ini. Harus selalu duduk menunggu ada orang yang bersedia membantuku. Aku tak pernah bisa berbuat lebih dari ini. Duduk dengan menulis surat untuk Gandi. Dan berharap keajaiban pada Tuhan. Jika aku akan dipertemukan dengan Gandi. Cinta pertamaku.

Bulir air mataku turun membasahi celana trainingku. Aku sama sekali lelah rasanya. Menunggu keajaiban seperti ini.
“Kamu nangis?” ada tangan yang memegang pipiku. Dan mencoba menghapus air mata ku yang sedari tadi tak kunjung berhenti.

“Aku duluan ya kak.” Aku memberanikan diri untuk pulang. Aku tidak ingin dicap sebagai gadis aneh yang baru datang, lalu menanyai tinggi badannya. Dan dicap sebagai gadis drama. Baru saja kenal, tiba tiba menangis.

GANDITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang