DUA

48 6 3
                                    

November 2018

Gladis berusia 20 tahun, ia masih sama. Masih tetap menjadi gadis pemurung.

Aku akan pergi ke rumah baruku, di Jakarta. Kami berangkat di hari jum'at. Banyak yang berubah 7 tahun yang lalu. Tepatnya ditahun 2015 Mama menikah. Kami tetap tinggal di Bandung, sekarang kami akan pindah ke Jakarta. Di tempat Papa baruku dipekerjakan. Papaku bernama Satya, bekerja di bidang IT.

Dan, rasanya perasaanku masih tetap sama. Kepada laki laki yang selalu memenuhi pikiranku 7 tahun yang lalu. Gandi, bagaimana kabarnya sekarang? Apakah dia tetap seperti dahulu? Periang? Apakah ia tetap ceroboh? Bagaimana dengan kondisi Mamanya? Apakah sudah sehat?

Datangku ke Jakarta juga dipenuhi dengan harapan agar aku bisa bertemu dengannya lagi.  Tak semudah itu mencari seseorang yang wajahnya sudah berubah. Dimana ia tinggal. Dan Jakarta begitu luas. Dan dengan kondisi kakiku yang tetap di kursi roda. Ketempat manapun aku harus ditemani seseorang.

Sekarang mama berada di rumah. Kini mama tak lagi bekerja. Karena penghasilan papa cukup membiayai kehidupan kami. Mama setia membantu pekerjaan rumah bersama nenek. Dengan menemaniku. Mama meminta kepada papa, agar mencarikan rumah di daerah dekat rumah sakit. Agar lebih mudah ketika aku hendak konsultasi.

Rumah kami tidak begitu besar. Hanya satu lantai. Agar memudahkanku saat hendak pergi ke tempat lainnya.
Kuliahku? Aku mengikutinya secara online.

Setiap pagi aku selalu ke taman belakang rumah. Dengan menulis beberapa puisi. Setiap huruf tertulis dikertasku, seketika ada goresan luka di hatiku. Dan selalu ada Gandi yang melintas dibenakku.

                       ***
Hari ini banyak tetangga yang datang. Aku malas untuk menemui mereka. Aku sibuk berkutat dengan novel novel yang kubaca.

Tok tok tok

"Masuk"
Nenek masuk ke dalam kamarku.
"Sayang, tidak baik loh kalau tidak menemui tetangga yang datang berkunjung"
"Aku malas nek. Nanti ujung ujungnya, mereka pasti kaget saat melihat aku seperti ini"
"Udah lah nak, itu sama saja kamu tidak menghormati mereka"

Baiklah aku akhirnya menuruti kata kata nenek. Dan, seperti dugaanku mereka datang dengan tatapan seolah olah prihatin dan tahu bagaimana kondisiku sebenarnya.

"Anak ibu umur berapa?" Tanya seorang ibu ibu yang sepertinya seumuran dengan Mama
"Umur 20 tahun"
"Anak saya umurnya 22 tahun, dia masih kuliah jam segini. Nanti kalau tidak memiliki teman, bisa main ke rumah saya. Di depan sana pas" Oh... Ternyata rumahnya pas depan rumahku. Aku yakin, kalu ia pasti enggan bermain denganku.

"Namanya siapa?"
"Gladis" Entahlah, kenapa aku selalu menjawabnya dengan begitu dingin. Padahal seharusnya aku melemparkan senyumku.
"Nama yang cantik"

                       ***

Malam ini, aku di dalam kamar, dan ada remaja yang baru saja pulang, lalu keluar dari mobil. Kulihat rumahnya begitu besar. Ia sepertinya tampan, karena malam, aku tidak begitu jelas melihat wajahnya. Tingginya semampai. Sepertinya ia anak dari ibu tadi siang yang menyuruhku untuk bermain dengan anaknya.

Lalu, datang lagi mobil berwarna hitam. Dilihat dari pakaiannya, ia mengenakan jas dokter. Sepertinya mereka dari keluarga terpandang.

                      ***

"Ma, Gladis pergi ke rumah sakit ya"
"Iya nak, kamu naik apa?"
"Taksi mungkin ma"
"Biar papa saja yang mengantar" Sepertinya papa hendak pergi ke kantor juga. Aku mengangguk dengan wajah dinginku dan segera keluar rumah.

"Ma, sepertinya Gladis masih belum bisa menerimaku"
"Gladis memang seperti itu, semenjak kondisinya berubah 100%, dan semenjak papanya meninggal, ia tampak lebih murung. Sudah sana berangkat"
Samar samar aku bisa mendengar percakapan mereka.

                      ***
"Nanti mau papa jemput atau pulang sendiri? Papa cuma mau mengambil file di kantor"
"Gladis pulang sendiri saja. Papa bantu mama bersih bersih rumah"
"Hati hati ya" papa mencium keningku sejenak dan meninggalkanku.

                     
                      ***

Kerongkonganku begitu kering. Aku pergi menuju show case untuk membeli minuman. Aku ingin minuman yang letaknya di baris ke 2, berusaha aku mengambilnya. Tapi sulit. Lalu, ada yang mengambil minuman itu. Lelaki tersebut memberikannya padaku.

"Terima kasih" aku pergi lalu segera membayarnya.
"Nunggu antrian?" Jawabku hanya mengangguk.
Ia duduk disebelahku. Di ruang tunggu pasien.
"Sakit apa?"
"Spina bifida"
"Waw. Diturunkan dari siapa?" Dasar, sok kenal sok dekat.
"Papa" Jawabku yang begitu irit dan simpel
"Kamu lucu. Sayang, irit bicara. Imut seperti kelinci"

Deg... Gandi?

*
*
*
*
*
*
*
1, Januari 2019

GANDITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang