Assalamualaikum
Hai, untuk para pembaca "GANDI" yang setia, terima kasih untuk selalu mengikuti dan memberi support. Mohon maaf kalau selama ini updatenya lamaa banget.
Tolong beri apresiasi untuk cerita saya dengan cara click bintang di pojok kiri dan memberi komentar berupa saran jika ada kesalahan dalam penulisan kata.
Terimakasih ❤❤
***“Permisi!” aku segera membuka pintu ketika mendengar ada yang mengetok pintu. Siapa pagi pagi bertamu? Ketika kubuka, ternyata Ryan. Ternyata ia benar benar yakin soal kemarin. Untung saja, aku tinggal memakai sepatu. Karena aku sudah mengenakan training.
“Ayo! Lama banget.”
“Ternyata jadi ya.”
Ryan segera mendorong kursi rodaku dan aku segera pamit ke nenek yang sedang berbicara kepada tetangga tentangga. Mama dan papa sedang pergi ke pasar.“Kita naik apa?”
“Dokar. Dibilangin kok.” Ryan segera mendorong kursi rodaku, ia juga sempat menyapa nenek dan tetangga sekitar. Dan, saat kami tepat di pos satpam, ternyata ia tidak main main dengan ucapannya. Memang benar ada dokar. Yaampun, dia benar benar unik.
Ryan benar benar mampu mebuat suasana hatiku membaik. Hari ini, kami menuju lokasi CFD. Yah, agak macet lah. Namanya Jakarta.
“Suka?”
“Iya, makasih.”
“Gue serius kan.”
“Iya.”
Sesampai di lokasi, Ryan mendorong kursi rodaku dan ia mengajakku membeli sarapan disekitar sini. Banyak sekali yang bersepeda dan bermain scooter. Tak sedikit pula kami menjadi pusat perhatian.
“Kamu kuliah dimana?” Tidak asik rasanya jika hanya ia yang memulainya, jadi kuputuskan untuk mengawali pembicaraan ini
“Di Jogja.”
“Serius?” Jauh sekali, disaat di Jakarta banyak Universitas mengapa ia harus mengambil di Jogja. Ryan hanya menganggukkan kepala tanda jika itu benar.
“Kenapa ambil disana? Kan jauh.”
“Ya gapapa sih, lagian itu keinginan dari kecil. Masuk disana juga kebetulan banget, gue dapet beasiswa. Kalo ada kenapa enggak. Bokap juga kasih izin.”
“Jadi, kamu jarang di rumah karena kuliah?” Ryan hanya menjawabnya dengan anggukan kepala.
“Lagian gue jenuh juga sama kondisi rumah.” Sesaat, aku melihat kesenduhan di balik wajahnya.
“Kenapa? Kan enak deket sama keluarga.”
“Adalah pokoknya, yuk kesana.” Ryan segera bangkit dari duduknya dan mengacak rambutku sembelum ia mendorong kursi rodaku. Entahlah, apa yang ia sembunyikan dariku. Aku tidak berhak tahu secara mendetail, karena kami baru saja kenal. Dari wajahnya, aku melihat jika ada kesedihan yang ia coba tutupi.
“Kita pulang naik dokar lagi?” Aku bertanya kembali, karena disini sudah tidak ada dokar yang tadi kami naiki. Entahlah, kejutan apalagi yang akan ia berikan.
“Naik becak.”
“Hah?! Serius?”
“Yaudah kalo gak percaya.”
Apa? Becak katanya? Dia memang lelaki penuh kejutan.Ternyata Ryan tidak main main dengan ucapannya. Buktinya, sekarang ia memanggil dua becak. Satu untuk kami naiki dan satunya lagi untuk tempat kursi rodaku.
“Kamu kok aneh sih.”
“Letak anehnya dimana?”
“Kan bisa naik kendaraan lain, kenapa harus dokar atau becak?”
“Kenapa? Gak suka?”
“Bukan gitu, Cuman ya aneh aja. Secara rumah kita kan agak jauh.”
“Bebas polusi, enak kan polusinya berkurang. Di Jogja banyak kok becak sama dokar. Kalo gue mau ke rumah temen males bawa sepeda ya gue naik becak aja.”
“Enak ya, di Jogja. Banyak banget lokasi yang bagus bagus.”
“Kapan kapan kita kesana, mau?” Aku segera mengangguk sebagai tanda setuju. Aah, hari ini Tuhan baik sekali. Aku benar benar bahagia.
***
Sesampai di rumah, aku melihat rumah begitu kosong. Seperti tidak ada pengguninya.
“Kemana semua?” Tanya Ryan padaku.
“Gak tau.”
“Ada kunci cadangan gak?”
“Ada, disitu. Di balik pot besar.” Ryan segera menuju kesana untuk emngambil kunci cadangan. Mama memang selalu seperti ini. Selalu menaruh di balik pot. Setelah itu, Ryan segera membukakan pintu dan menuntunku masuk. Rumah begitu sepi dan gelap. Aneh, biasanya tidak pernah seperti ini.
“Coba lo telpon aja.” Benar, kenapa tidak kepikiran dari tadi? Aku segera menyalakan wifi agar segera tersambung ke wifi rumah. Benar saja, banyak chat masuk dari mama dan panggilan tak terjawab.
Aku segera menelpon mama dan ternyata nenek dilarikan ke rumah sakit karena tadi jatuh dari kursi. Ryan segera menuntunku masuk ke dalam mobilnya dan segera mengunci rumah.
Saat kami tiba di rumah sakit, aku melihat ada Vanessa dan Abi. Mungkin tadi mereka main ke rumah dan segera ke rumah sakit saat mendengar nenek di rumah sakit.“Nenek gimana?” Aku takut sekali jika ada sesuatu yang terjadi pada nenek. Aku tidak ingin kehilangan nenek. Karena nenek seperti ibu bagiku.
“Gladis, yang sabar ya.”
“Nenek dimana?” Aku meninggikan nada suaraku dan Vanessa berusaha menenangkan diriku yang mulai berontak.
“Kamu disini aja.”
“Gak mau! Aku maunya ketemu nenek!” Aku berteriak dengan keras dan air mataku mulai mengalir saat aku mendengar bahwa nenek sudah tiada dan diseberang sana, aku melihat mama dan papa menangis.
“Ini bercanda kan? Ini pasti Cuma jebakan kan? Nenek masih hidup kan? Tadi aku pamitan sama nenek. Tadi nenek cium keningku dulu. GAK! GAK MUNGKIN!.”
Vanessa yang melihatku sudah tidak karuan ikut menangis dan ia segera memelukku.“Ini takdir. Aku mohon, kamu yang kuat Dis.” Aku tidak kuat lagi. Aku benar benar tidak mengerti. Mengapa Tuhan tidak ingin melihatku tersenyum sepanjang hari. Aku ingin bercerita tentang Ryan kepada nenek. Bagaimana tingkah aneh dan kejutannya selalu datang dan mampu buat aku tersenyum. Saat itu Gandi. Disaat aku baru bisa tersenyum, ternyata Gandi pergi. Dan sekarang, saat baru saja aku ingin menceritakan Ryan, nenek pergi. Enggak. Ini gak adil.
“Nek, Gladis pasti nakal kan? Sampai bikin nenek kayak gini. Ayo nek bangun! Gladis janji gak bakal nakal kok, Gladis janji bakal selalu senyum dan ketawa terus kok. Asal nenek mau bangun sekarang! Ayo nek kita pulang!
Nanti Gladis bakal cerita ke siapa kalo nenek gak ada? Nenek udah gak sayang lagi kah sama Gladis?” Aku meracau sendiri di depan jenazah nenek yang sekarang berada di kamar mayat. Kugenggam tangannya yang mulai membiru dan dingin. Tangan yang memilik banyak kerutan ini, selalu menenangkan diriku. Aku memeluk tubuh nenek yang begitu rapuh dan dingin ini. Ruangan ini begitu dingin.
Kini, nenek sudah pergi. Takkan kembali lagi. Aku rindu. Aku ingin sekali dipelukan nenek saat aku bercerita tentang hari ini. Aku rindu masakan nenek yang begitu lezat.
Rindu.***
"Terkadang, apa yang kita harapkan takkan bisa seperti realita. Jalan tidak semulus apa yang terbayangkan. Haluan kehangatan bergentayangan disekitar. Hanya racauan yang terdengar ketika realita ini hanyalah sebuah bualan hangat."***
9, Juni 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
GANDI
Teen FictionJika kamu hanya berdiam diri tanpa ada langkah yang melangkah, maka kamu tidak akan pernah sampai ke tempat tujuanmu. ~Gladis. ~k.r