Maret 2011
"Gladis, bangun nak. Ayo mandi dulu sayang"
Cahaya matahari menembus mataku. Aku benar benar lelah sekali. Hari ini aku harus pergi ke klinik untuk konsultasi mengenai kaki ku.
"Sini, mama bantu duduk di kursi roda"
Ya, aku lumpuh. Hidupku berubah ketika aku mengalami penyakit spina bifida. Dimana kelainan bawaan lahir yang mempengaruhi perkembangan tulang belakangku. Penyakitku diturunkan oleh Papaku. Papa sudah meninggal. Dan, penyakitku datang ketika umurku 9 tahun. Sekarang aku berumur 13 tahun, begitu dini untuk mengalami penyakit ini. Setiap hari selalu tergeletak di atas kursi roda. Aku tak pernah banyak bicara. Semenjak penyakitku ini, aku lebih murung. Mama selalu bekerja keras agar bisa membiayai home schooling ku. Selalu kupaksa untuk menikah lagi. Namun, cintanya kepada Papa begitu kuat.
***
"Gladis, kamu harus tetap semangat ya. Dokter sudah memberimu obat. Kenapa kamu tak pernah meminumnya?"
"Apakah, saat aku meminum obatku, penyakitku akan hilang? Apakah akan sembuh? Tidak kan. Papa selalu minum. Tapi Papa malah kehilangan nyawanya"
Rasanya mood ku pagi ini hancur. Jujur saja, aku sebenarnya tak suka pergi konsultasi. Ujung ujung nya nanti dokter atau suster bilang "kamu harus memiliki semangat hidup yang besar. Kamu harus kuat dalam mengadapi hal seperti ini. Jadikan orang orang yang lumpuh menjadi motivasi mu"Aku segera pergi ke taman klinik. Karena tempat itulah, tempat paling ternyaman bagiku.
"Gandi, kamu harus yang kuat ya nak. Mama mu akan baik baik saja. Kamu harus makan"
"Tapi bi, mama harus dioperasi. Pasti sangat sulit mengahadapi itu semua. Aku gak mau masuk ke dalam. Malahan. Aku akan menangis dan membuat mama sedih"
"Tapi sekarang mamamu butuh dorongan semangat darimu"Aku melihat ada anak seumuranku sedang menangis. Ia mungkin bersama tante atau pembantunya. Rasanya, aku tahu bagaimana perasaannya. Perasaan yang pernah ku hadapi 2 tahun yang lalu. Dimana papa akan mengoperasi kakinya. Dan membuat papa kehilangan nyawanya.
Tanpa kusadari, air mataku ikut menangis ketika kusadari sedari tadi aku memperhatikan gerakan dua manusia tersebut. Yang satu berusaha menenangkan yang menangis.
"Permisi, ada apa?"
Tiba tiba aku menghampiri lelaki tadi. Matanya sembab. Ia melihatku dan kemudian pergi."Maaf, tuan muda sedang tidak ingin diganggu. Ibunya akan segera dioperasi. Sepertinya ia tidak ingin ada yang melihat jika dirinya menangis"
Aku segera pergi dengan melemparkan secarik senyumku.
***
Jarak dari klinik ke rumahku begitu dekat. Hanya terpisahkan gang kecil saja. Maka dari itu, aku selalu berangkat dan pulang sendiri. Di rumah selalu ada nenek yang setia merawatku. Kerana Mama sibuk bekerja. Jadi neneklah yang merawatku.
Saat di dalam kamar, aku segera pergi ke meja. Dimana aku bisa menuliskan berbagai kisahku di buku dairy ku.
26 Maret 2011
"Hari ini, aku pergi ke klinik. Seperti biasa, aku menjalani kehidupanku dengan disuruh minum obatlah, inilah, nanti kalau tidak minum akan tambah sakitlah. Disaat aku ditaman, aku melihat seorang remaja seumuranku. Ia terlihat terpukul ketika mengetahui ibunya akan segera dioperasi. Keaadannya hampir sama sepertiku. Namun yang kutahu, ia tidak memiliki penyakit menurun. Tatapannya dingin dan kosong ketika ia melihatku. Semoga ibunya tetap selamat dan baik baik saja"***
"Nek, Gladis izin cari udara segar di luar ya"
"Iya nak, mau nenek antarkan?"
"Nenek jaga rumah saja"
"Hati hati"
Pamitku keluar rumah.Saat ini, aku ingin pergi ke taman komplek rumah. Aku ingin melihat danau segar disana. Pagi ini sekolahku libur. Terkadang, aku ingin hidupku seperti mereka. Yang selalu berangkat pagi lalu pulang sore. Dan bekerja kelompok saat malam hari. Seperti kehidupanku sebelumya. Teman? Ya, semua nya pergi ketika mengetahui aku lumpuh. Mereka hanya datang sesekali. Tapi itu terakhir kali dua tahun yang lalu. Dimasa terpuruknya diriku.
Danaunya sangat indah. Aku ingat, terakhir kali saat kesini, saat aku bermain dengan Papa dan mendorong kursi roda Papa. Saat itu mama menyiapkan piknik kecil disekitar danau. Tetes air mataku kembali keluar. Sesekali aku menahan isakan air mataku.
"Jangan nangis, orang cantik sayang loh kalo nangis"
Aku langsung mencari sumber suara. Dan ternyata dia anak laki laki kemarin yang menangis. Namanya Gandi."Kemarin kita ketemu. Maaf aku aku langsung pergi"
Aku hanya menatapnya lalu menunduk kembali."Namaku Gandi, aku dari Jakarta. Kemarin kamu bertanya, apakah aku baik baik saja? Ya, keadaanku kembali membaik. Tapi kelinci kecilku sekarang menangis. Kamu kenapa?"
Ya, aku hanya diam. Aku selalu begini, ada fase ketika aku dingin dengan tatapan kosongku.
"Yuk, aku ajak main lempar batu. Nanti sebelum kamu lempar, kamu do'a dulu, apa permohonanmu. Mungkin bisa terkabul"
Dia terlihat sangat ceria. Kulihat, dia begitu konyol. Memangnya ada hal seperti itu. Benar benar aneh...
"Aku dulu ya yang mulai" Gandi melempar batunya dan ada percikan air yang mengenai wajah kami.
"Kamu tahu apa yang aku harapkan?" Tidak. Tentu tidak. Memangnya aku memiliki kekuatan membaca pikiran orang lain.
"Aku berharap, agar kelinci cantik ini mau tersenyum dan berbicara. Wajahnya tanpa ekspresi" Hei, apa dia meledekku. Dasar!
"Kelinci lihat, ada kelinci lucu!" Dia menunjuk pohon dekat kami. Kelincinya begitu menggemaskan. Aku ingin menangkapnya, tapi aku sadar, bahwa itu tak mungkin bisa.
"Kelinci ketemu kelinci. Aku akan menangkapnya" Dia melompat dan mengejar kelinci mungil itu.
"Hei! Kelinci! Diam disana! Aku akan menangkapmu!"
Dan, tiba tiba dia menabrak pohon. Dasar ceroboh."Aduh!!" Dasar... Aku tersenyum dan itu benar benar lucu. Lihat saja jidatnya. Ada bekas benjolan yang besar.
"Yes! Akhirnya kelinciku senyum" Dia datang dengan membawa kelinci itu, aku senang. Karena bisa bisa menggendongnya lagi.
"Lihat! Aku membawa ini"
Aku melihat dengan tatapan penuh tanya. Seolah ia mengerti ekspresiku
"Ini kalung" hei, siapapun tahu itu. Bahkan anak kecilpun tahu."Aku memiliki dua kalung. Sebenarnya satu untuk kakakku. Tapi, dia bilang ini seperti mainan anak kecil"
Dia langsung memakaikannya kepadaku. Padahal aku belum menyetujui itu.
"Nanti, kalau kamu bertemu aku, tunjukkan kalung ini. Aku akan kembali ke Jakarta"
"Sudah sore. Mari, kuantar pulang ke rumahmu"
Aku berusaha menahan air mataku. Kenapa, disaat ada yang mau berteman denganku. Ia malah pergi. Ia pergi ke kota yang sangat jauh.
***
Taada lagi teman yang bisa membuatku tersenyum. Teman yang begitu konyol. Aku meneteskan air mata. Baru tahu aku, begini sakitnya ditinggal oleh teman. Ia sangat baik. Berbeda dengan anak laki laki di komplek ku. Entahlah, mungkin aku takkan bisa bertemu dengan Gandi lagi.
Jika bukan takdir, tapi kurasa takdirku takkan bertemu dengannya lagi.
Dia bahkan tak mengetahui namaku.***
1, Desember 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
GANDI
Fiksi RemajaJika kamu hanya berdiam diri tanpa ada langkah yang melangkah, maka kamu tidak akan pernah sampai ke tempat tujuanmu. ~Gladis. ~k.r