"Jadi kamu mau aku dampingin kamu di acara kak Satya?"
Aku menatap tajam kearah Revan yang tengah menikmati segelas kopi panas yang baru saja kuseduh beberapa saat yang lalu, sesekali mataku menatap gaun tidur yang kukenakan meneliti bagian bawah gaun yang mungkin saja sesekali tersingkap. Walaupun hanya gaun tidur berbahan katun dan tidak menerawang, potongan gaun yang kupakai sedikit terbuka memperlihatkan bahu dan pahaku.
Revan datang tepat pukul sepuluh pagi ke rumahku ketika aku masih sibuk-sibuknya merancang desain yang pria itu inginkan. Sebelumnya kukira Lita yang datang kemari hingga aku tidak perlu mengganti pakaianku.
"Aku permisi ganti pakaian dulu," aku beranjak dari tempat dudukku namun suara Revan menghentikan langkahku.
"Aku tidak berminat dengan tubuhmu, jadi tidak perlu repot mengganti pakaian."
Bibirku tersenyum paksa, "Tapi yang kulihat sadaritadi kamu malah fokus pada pahaku," ungkapku, si sialan ini bahkan sejak menginjakkan kaki di rumah ini matanya sesekali tidak lepas dari bagian pahaku.
"Lega melihat pahamu tidak ada bekas lukanya."
Dahiku mengkerut.
"Hah?"
"Aku sering menyentuh bagian itu dulu," Revan menunjuk kearah pahaku kemudian menatapnya lagi.
Dasar mesum ini!
"Aku mengharapkan sikap profesionalmu, Mr. Handoko!" aku mengabaikannya kemudian memutuskan melanjutkan langkahku ke kamar.
Sesampaiku disana dengan cepat aku berlari kearah lemari, tanganku tergerak memilah pakaian paling tertutup dan pilihanku tertuju pada sweater hijau tua dan celana jeans panjang. Tidak akan kubiarkan dia melihat paha mulusku lagi.
Keluar dari kamar, mataku seketika membulat tepat disaat pandanganku menangkap Revan yang telah melepaskan jasnya, menyisakan kemeja yang dua kancing bagian atasnya terbuka. Pria itu terlihat tengah membuka kulkas kemudian mengeluarkan sekantung buah apel yang kubeli beberapa hari yang lalu.
"Buatkan aku jus buah," ucap Revan dikala menyadari keberadaanku yang memang kini tengah mendekati dapur, aku melangkah cepat kesana kemudian merebut kantung yang ada di tangan Revan kemudian mengembalikannya lagi ke dalam kulkas.
"Kamu tidak berhak-"
"Sudah dua tahun aku tidak lagi berada disini, tapi leganya tidak ada yang berubah."
Aku terkekeh, "Aku tidak mempersilahkanmu masuk ke rumahku."
Revan merentangkan tangannya kemudian tersenyum, "Buktinya aku sudah berada disini."
"Itu karena kamu dengan seenaknya masuk tanpa izinku," aku kembali mengingat ketika Revan datang ke rumah ini, tepat di saat aku membuka pintu Revan dengan cepat masuk dan langsung duduk di sofa.
Terpaksa aku menerimanya sebagai tamuku hari ini, lagipula aku tidak ingin membuat keributan dengan mengusir Revan secara paksa yang akhirnya bisa membuat ricuh para tetangga, aku sudah tau pasti bagaimana kelakuan tetanggaku yang sebelas duabelas dengan lambe turah. Bisa-bisa masalahku dengan Revan menjadi topik panas di komplek ini.
"Kembali ke pembicaraan kita," Revan menyenderkan dirinya ke pinggir meja dapur, matanya tidak lepas melihat tubuhku yang memakai pakaian yang lebih tertutup dari sebelumnya dan sialannya setelah itu wajah Revan terlihat kesal.
"Mengenai pesta kak Satya aku akan ikut tapi tidak sebagai pendampingmu," kak Satya sudah kuanggap sebagai kakak sekaligus teman curhat bagiku, rasanya tidak datang ke pestanya karena harus menghindar dari tente Rina adalah tindakan yang tidak pantas.
"Selain itu aku tidak memiliki hak sebagai pendampingmu, perlu kuingatkan jika hubungan kita hanya sebatas rekan kerja sekarang?" aku bersidekap, mataku menatap Revan dengan aura menantang.
Aku melihat senyum tipis Revan, seketika tubuhku bergedik waspada.
"Kita tidak akan menaruh perasaan lebih satu sama lain," kakiku melangkah menuju meja dapur kemudian mengambil gelas dan mengisinya dengan air mineral, situasi seperti ini membuatku sedikit sesak, "Aku masih ingat jelas apa yang kamu katakan saat hari pertama kita menjalin kerja sama ini"
"Lily," dia mengeram, memanggil namaku.
"Bisakah kita bersikap profesional dengan tidak memaksa kehendak satu sama lain?"
Revan terdiam namun dari matanya aku dapat melihat kilat kemarahan. Saat itulah aku meneguk air mineral dengan cepat untuk mengalihkan ketakutannku
Aku meletakkan gelasku dengan keras di atas meja kemudian menatap tajam kearah Revan, "Aku tidak bisa menjadi pendampingmu di pesta kak Satya," telak, keputusanku tidak dapat berubah.
=-=
Dari jendela aku melihat mobil Revan melaju dengan cepat keluar dari perkarangan rumahku, kala itu pula aku menghirup nafas sekuat-kuatnya kemudian menghembuskannya dengan perlahan. Sungguh situasi yang kualami benar-benar membuatku lemas setengah mati, bahkan kini aku terduduk di lantai karena tidak bisa menahan kakiku lagi.
Aura intimidasi dari Revan tidak berubah sejak dulu dan untuk pertama kalinya setelah dua tahun kami putus aku kembali merasakannya.
Aku tidak akan menjalin hubungan lagi dengan Revan, semesta adalah saksi dari janjiku.
Tanganku merogoh ponselku yang berada di kantung sweater kemudian mengirim pesan singkat kepada Rian, temanku yang bekerja di salah satu perusahaan travel. Aku berniat memesan tiket untuk penerbangan besok ke Barcelona.
Mengapa terlalu cepat memesan mengingat pesta pernikahan kak Satya diadakan tiga hari lagi? itu kulakukan hanya untuk menjauh beberapa ribu kilometer dari Revan, aku harus bisa menenangkan pikiranku sebelum pesta dimulai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Back To You
RomanceBuanglah mantan pada tempatnya, tutup rapat-rapat agar bau busuknya menghilang. Selalu saja kalimat itu terngiang di pikiran Lily semenjak pertemuannya dengan Revan, sang mantan yang kini berstatus sebagai kliennya.