Part 5

7.5K 653 1
                                    

Tepat ketika aku membuka mata yang kudapati adalah wajah Revan yang sedang tertidur di sampingku, begitu tenang hingga membuat tanganku ingin sekali menggapai wajah tersebut, mengelusnya perlahan sama seperti dulu.

Namun dulu tidak sama seperti sekarang, aku tidak punya alasan untuk dapat menyentuh wajah itu lagi dengan penuh cinta.

Perlahan tangan Revan yang tengah berada di atas perutku aku pindahkan agar pria itu tidak terganggu. Aku harus segera pergi dari kamar ini, selain karena kesalahanku yang sialnya tertidur tanpa sebab di pelukannya saat di bandara, aku juga tidak tahan dengan keadaan dimana aku harus tidur kembali satu ranjang bersama Revan.

Otakku seperti langsung bekerja otomatis mengingat masa lalu kami yang begitu manis.

Bagiku hal itu sangatlah menyakitkan.

"Lily"

Revan berdesis meyebut namaku, tangannya mengelus sisi samping yang tadinya kutiduri sebelum beranjak. Tepat setelahnya dia membuka mata perlahan kemudian menatapku yang berdiri di samping ranjang, tepat di hadapannya.

"Maaf"gumamku, tubuhku menunduk untuk memperbaiki selimut yang sedikit tersampir di pinggang Revan, menutupnya kembali hingga sebatas dada pria itu,"Aku harus kembali ke hotelku"lanjutku.

"Hotelnya sama"ucap Revan, dia menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya, membuatku mengerutkan dahi. Dia menolak kebaikanku kah?

"Kita menyewa kamar di hotel yang sama"ucapnya lagi membuatku langsung menuju kearah balkon kamar. Pantas saja, pemandangan yang kudapati sama seperti pemandangan ketika aku berada di balkon kamarku.

"Bagaimana bisa?"aku melirik kearah Revan yang kini sudah berada di sampingku, pria itu memangku tangannya pada pagar balkon.

"Hanya kebetulan mungkin"bisiknya tepat di wajahku.

Oh tidak, jantungku.

"Kalau begitu aku harus kembali ke kamarku, sebelumnya terima kasih karena tidak membiarkanku tidur di bandara. Selain itu aku sudah menumpang tidur di ranjangmu, aku merasa-"ucapanku terpotong karena Revan tiba-tiba berbicara.

"Aku menikmatinya, sama seperti dulu kan? kamu memelukku sangat erat tadi"

Eh, benarkah?. Mungkin saja aku menganggap Revan sama seperti gulingku.

"Jangan menggodaku, Mr. Handoko"

"Panggil namaku Revan"dia menyenderkan tubuhnya pada pagar balkon kemudian menatapku,"atau kamu bisa memanggilku dengan panggilan 'sayang' sama seperti dulu"

Aku terkekeh,"Hubungan kita hanya sebatas kerja sama dalam pekerjaan saja. Berhentilah mengenang masa lalu, kamu seperti belum move on saja"

"Memang kamu sudah move on?"tanyanya namun dari lirikan mata Revan aku bisa melihat tatapan penuh tantangan disana.

"Dua tahun rasanya cukup untuk membenah diri, menghilangkan perasaan yang sia-sia"aku mengatupkan bibirku beberapa saat hingga akhirnya mataku kembali menatap Revan,"Kita memang tidak ditakdirkan bersama"

"Tidak ada yang bisa memprediksikan takdir, Lily"

Semudah itu Revan mengatakan hal tersebut, dia tidak pernah merasa berada di posisiku yang selalu tertekan ketika bersamanya, meragu ketika aku menjalani hari esok, apakah esok aku tetap bersamanya atau esok adalah hari dimana usainya hubungan kami.

Aku tersenyum tipis kemudian menepuk sebelah bahu Revan,"Aku harus kembali ke kamarku, pesta kak Satya akan dimulai beberapa jam lagi"

Langkahku terhenti ketika Revan menggapai tanganku, menggenggamnya dengan erat.

"Setelah ini apakah kita masih bisa seperti dulu?"

Aku terdiam sesaat hingga akhirnya memutuskan membalas pertanyaannya.

"Tidak, jika kamu mengharapkan pertemanan sekalipun kurasa sangat mustahil karena pada akhirnya kitalah pihak yang akan tersakiti jika menjalaninya"

"Kalau berteman mustahil bagimu, bagaimana kalau kita berpacaran saja?"

=-=

Aku menangkup kedua pipiku tepat disaat pintu kamarku tertutup, tubuhku menyandar di permukaanya dengan mata yang masih membulat karena tidak percaya dengan apa yang terjadi sebelumnya.

Revan sukses membuat kinerja jantungku bekerja melebihi batas, layaknya efek yang didapatkan setelah lari maraton berpuluh-puluh kilometer.

Argh, bagaimana aku bisa ke pesta kak Satya jika diriku saja belum siap bertemu dengan Revan yang nyatanya juga berada di sana. Pertemuan kami pasti tidak bisa terhindarkan karena keberadaan Lita yang pastinya akan kekeuh menjadi seorang makcomblang nanti.

"Kalau berteman mustahil bagimu, bagaimana kalau kita berpacaran saja?"

Kalimat yang diucapkan Revan masih terngiang dalam pikiranku, apalagi aksi dimana aku lari keluar dari kamarnya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Memalukan, aku bagaikan bocah yang baru saja ketahuan mencuri.

Tunggu sebentar, jika diingat-ingat lagi hubungan pekerjaan yang kami jalani tidak memperbolehkan menaruh perasaan lebih satu sama lain.

Tapi lain halnya setelah kerja sama ini usai, tidak ada lagi perjanjian yang mengikat kami.

Apa aku harus pindah ke daerah lain saja seperti niatku sebelumnya, tapi urusannya akan ribet karena harus membereskan surat pemindahan dan hal lainnya yang pastinya malas kulakukan.

Kakiku melangkah perlahan menuju lemari, mengambil satu-satunya gaun yang kugantung disana. Sebuah gaun yang kubeli tepat di hari pemberangkatanku ke Barcelona.

Jujur aku membeli gaun ini di butik mak lampir alias mamanya Revan.

Mau bagaimana lagi, koleksi gaun disana lebih bagus daripada gaun dari toko pakaian lain. Aku harus menjatuhkan harga diriku untuk mendapatkan gaun ini, apalagi aku harus bersikap layaknya mata-mata pada saat itu, menghindari keberadaan mamanya Revan yang sewaktu-waktu akan ada di dekatku.

Aku menoleh kearah cermin dikala gaun tersebut sudah terbungkus dengan pas di tubuhku. Sangat cantik hingga aku tidak menyesal mengeluarkan uang banyak untuk mendapatkannya.

Back To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang