Menangkap posisi dua jarum di pergelangan kiri, Park Jimin langsung tahu ia sedikit kebablasan soal waktu. Namun, soal tersebut bukan masalah mengingat sedari Jimin melangkah kakinya melewati pintu, ia sudah dedikasikan hitungan hidup itu untuk mengendurkan cekikan pada kerongkongan yang acapkali memohon agar cari oksigen tanpa kandungan duri.
Kendati sulit mencari pasokan napas yang sedemikian ideal, syukurlah, Jimin tidak begitu menuntut. Baginya, membikin tiga sampai empat kali menghela bebas pun cukup. Senyum hasil umbaran bibirnya kian segar saat manik di mata sempit itu berlabuh pada plastik yang ia cangking.
Optimisme Jimin membara, ia pasti sanggup sambungi kembali perjuangannya. Terperosok ke telaga kegagalan bukan berarti mesti stagnan, tinggal lalu lupakan. Semua tentang kebahagiaan, dan Jimin bukan tipikal kacungnya ketidakberdayaan. Jimin bakal terus-menerus berusaha sampai apa yang ia hirup nanti tidak lagi jadi duri, melainkan aroma manis kehidupan yang berkepanjangan.
Ayunan kaki Jimin berhenti ketika tiba di sebuah pertigaan. Biar genap tiga belas hari menetap di kawasan ini, Jimin perlu ingat-ingat kembali rute ia pulang usai manjakan diri dengan hamparan suasana. Tentu hal ini tidak mustahil terjadi, karena terhitung dua kali Jimin eksplorasi area sekitar tempat tinggal. Selebihnya, ciri khas orang pindahan, ia habiskan guna membenahi barang-barang.
Namun, tidak ada yang perlu dikhawatirkan pasal kemungkinan tersesat. Beri saja sedikit sentuhan berjudul paksa di otak, dapat dijamin bahwa Jimin bakal terima jawaban usainya.
"Hm, kanan? Oke, benar. Kanan." Lekas Jimin tuntut diri ke arah yang dimaksud. Ia berjalan dengan anteng, dan sesekali mempersilakan senandung lewati belahan bibir. Kegiatan itu Jimin rasa akan terus berlaku hingga ia tiba di rumah andaikan manik kembarnya tidak jelalatan ke sana kemari.
Dengan sigap, Jimin seret langkah ke belakang kemudian senderkan punggung pada dinding dingin. Dalam raut terkesiap itu Jimin berupaya ambil napas sebanyak mungkin. Ia peroleh dua realita di satu sekon; malam memang waktu yang ideal untuk tenangkan diri, tetapi malam juga waktu yang sempurna guna membahayakan diri.
Astaga.
Sayup suara berat seolah menguar menembusi dinding yang Jimin punggungi. Untaian kalimat rendahan mengalun begitu bebas sehingga telinga Jimin kebas sendiri mencernanya. Seseorang di ujung keremangan gang itu mungkin nyaris temui ajal, jika tidak ada yang bergerak menghentikan. Namun, Jimin merasa tidak akan sanggup, kalau ia serta-merta menerobos sambil berlagak bak pahlawan kesiangan-padahal tahu hari sudah malam. Jimin pastikan dua orang kelebihan otot itu bakal membikin ia jadi pasien tetap Rumah Sakit beberapa pekan ke depan, bila dia nekad.
Sejatinya, ini sama sekali bukan urusan Jimin. Ia bisa saja abai lalu tinggalkan. Akan tetapi, Jimin enggan bebani otak dan jiwa dengan menambahi daftar rasa bersalahnya. Dan sungguh sayang, Park Jimin tipikal makhluk penuh simpati dan empati. Jadi, ia susah dan tidak akrab dengan apatis.
Apa yang harus aku lakukan? Jimin bermonolog. Sambil mengulum bibir, ia memutar otak untuk temukan cara aman dan brilian; menyelamatkan tanpa timbulkan perkara menyakitkan lain. Bagaimana?
Sekonyong-konyong mata sempit Jimin membeliak, tidak percuma juga mendengarkan beragam ocehan Jeon Jungkook, sahabat Polisinya yang mengumbar suatu taktik melepaskan diri dari rundungan atau kejahatan model keroyokan. Kala itu, Jimin hanya tertawa sambil meralat trik sederhana Jungkook menjadi trik konyol.
Patut dicoba, dan tidak ada pilihan lain.
Lekas Jimin mengorek ponsel di saku jaket tebalnya. Ibu jari mungil Jimin menari di atas layar ponsel, mencari senjata utama dari rencananya. Binar terpancar seketika, tanda bahwa telah ia temukan. Baiklah, Jimin berjanji jika kiat tersebut terbukti ampuh, maka ia akan bawakan Jungkook satu set makan siang di keesokan hari. Ingatkan.
Bunyi yang tidak ada bedanya sirene polisi sontak menggema tatkala Jimin menekan tombol putar. Sengaja ia atur di volume penuh, dan untunglah ponselnya memiliki performa yang bagus. Lantas Jimin sudahi aksi sembunyi, ia munculkan presensi kemudian berteriak impulsif, "Polisi, di sini! Ada penyiksaan di sini!"
Dua orang yang sudah mulai ketar-ketir lantaran sirene ponsel Jimin, lantas angkat kaki secepat mungkin usai melayangkan satu kalimat makian terakhir. Jimin menyelesaikan aksi teriakan dengan hela napas lega. Keberhasilan tidak terduga. Benar-benar seperti siasat brilian, meski implementasiannya kentara konyol sekali.
Selepas mematikan sirene, Jimin berlari cepat menuju sesosok yang tengah meringkuk di atas dinginnya jalanan. Jimin bersimpuh lalu menyelipkan tangan di ceruk leher supaya dapat ia sanggahi di pangkuan. Tak ayal Jimin meringis kala mencermati keadaan tiap jengkal sosok bersorot redup itu. Seolah lebam dan luka ialah perhiasan utamanya. Astaga, parah sekali.
"Tidak apa. Kau aman sekarang."[]
disetor dulu pokoknya aokwkwk.
KAMU SEDANG MEMBACA
That Illegirl
Fanfiction[COMPLETED] Malam itu, bukan hanya sekantong camilan yang Park Jimin boyong ke tempat tinggal barunya, tetapi juga seseorang yang ia temukan di sudut keremangan dengan kondisi memprihatinkan. ©suyominie, 16-04-2019.