[03] Was

1.4K 234 23
                                    

Jimin telah selesai dengan pengobatannya di area tangan, sehingga ia merambat ke pemberhentian akhir. Di mana area wajah, menjadi bagian terparah.

Mentang-mentang sudah melihat kendati sekilas cetakan tubuhnya, bukan berarti Park Jimin berakal untuk berbuat lebih dengan memberikan setelan berupa kaos setengah tiang kebesaran dan celana pendek pada gadis di hadapan ini. Akan tetapi, di sela-sela Jimin mengobati kisaran dagu, seberkas penaksiran itu muncul. Soal fakta, bahwa ia sulit percaya di balik sosok kelewat kacau tadi menyembunyikan wujud, katakanlah, seindah ini. Kulitnya seputih salju, rambut lurus sebahu dengan warna selegam maniknya, tatapan teduh, bulu mata panjang, hidung meluncur, dan bibir tipis merah muda alami.

Jika tidak penuh luka, Jimin yakin dia akan terlihat lebih memukau. Sebuah paket kesempurnaan.

Tiba-tiba Jimin menggeleng kuat. Astaga, ia sudah berjanji atas nama ibunya untuk tidak lagi membayangi kejadian di luar prediksi. Lewat dehaman, Jimin enyahkan pikiran-pikiran sialannya. Dia bukan si otak mesum yang di dalam tempurung kepala hanya berisikan selangkangan. Lagi pula, tidak tersedia ruang bagi Jimin melanjutkan ketidakbergunaan ketika ia punya yang kelewat penting untuk dikupas.

“Mengapa kau bisa sampai dipukuli seperti tadi?” tanya Jimin, sedangkan tangan berisinya sibuk menabur bukti proses menuju kesembuhan di sudut bibir tipis tersebut.

“Tidak tahu.” Jawaban datar yang kontan membikin Jimin stagnan sekian detik jika tidak segera mendapat sambungan, “Aku hanya berjalan kemudian mereka datang sambil menagih sesuatu bernama uang. Aku tidak tahu apa itu uang. Aku bilang saja tidak tahu, dan mereka malah memukulku.”

Mencerna betapa lazim alasan di balik kondisi fisik yang memprihatinkan, Jimin tersenyum nanar. Ia kehilangan retorika akibat terima balasan yang begitu tipikal. Ingat, sebagus-bagusnya hukum suatu negara tetap tidak akan sepenuhnya aman dari kriminalitas. Dan Jimin juga sedikit tempramen kalau membahas hak finansial yang dirampas. Ingin murka saja, rasanya.

“Ah, aku Jimin. Park Jimin.” Jimin melempar kutukan teruntuk sendiri sebab lupa mengajukan langkah perkenalan yang seharusnya menjadi pembuka sedari awal. “Kau, siapa namamu?”

“Nama ....” Sosok itu melipat dahi. “Nama?”

Sial, Jimin betulan dituntut menambahkan catatan kecil di rak intelejensinya. Gadis ini amnesia, tidak tahu apa-apa seperti batita; bayi tiga tahun. Beruntunglah gadis ini, karena dikasih takdir untuk bertemu dengan Park Jimin yang sekarang.

Park Jimin yang dilimpahkan begitu meruah jiwa kemanusiaannya.

“Nama itu, adalah sebuah panggilan yang ditujukan kepada kita. Seperti aku, namaku Jimin. Jadi, ketika kau hendak menyeruhku, panggil saja Jimin. Paham?”

“Oh.” Kepala bermahkota sebahu gadis itu berayun halus. “Tapi aku tidak memilikinya. Nama. Aku tidak memilikinya.”

Kontan Jimin menepuk dahi. Astaga, apa dia sudah lelah? Ya, Jimin akui dia lelah. Tetapi bukan berarti melulu lupa. Atau jangan-jangan dia sudah terlalu tua? Demi kebajingan teman penipunya, Jimin belum menginjak kepala tiga, masih terbilang jauh pula.

“Tidak mungkin aku memanggilmu hei. Selain tidak sopan, itu juga tidak estetik. Tapi bagaimana, ya?” Ia mengoceh dalam resonasi rendah.

Berhenti pada kegiatan mengobati, Jimin penuhi sekat kelima jari kiri dengan rambut guna di sisir ke belakang. Bernegosiasi bersama akal lewat tatapan analitik. Memanggil hei, tidak mungkin. Mendesak dia agar ingat nama pun sama mustahil. Kendati belum terima persetujuan, apa boleh buat.

“Yoonji.”

“Yoonji?”

“Anggap saja namamu sekarang adalah Yoonji.” Jimin dapatkan penggalan nama itu dalam sekejap, dan andai dipikir-pikir lumayan cocok tersemat pada gadis itu. Akan tetapi, entah mengapa Jimin merasa hambar, jika namanya hanya Yoonji. Apa perlu kutambah nama belakangku juga, ya?

Seolah tahu, gadis itu lekas menyambar, “Min!” Dia condongkan kepala ke dekat Jimin. “Kalau Min sebuah nama, aku juga mau memakainya.”

Kerjapan terselimut harap tersampaikan sempurna, karena detik lanjut, Jimin mengangguk setuju. “Bisa jadi memang namamu. Min Yoonji, ya? Boleh juga.” Bibir tebal Jimin membentuk garis lengkung, sedangkan gadis yang telah resmi punyai nama tersebut nampak tunjukan perubahan di tiap sorot matinya. “Nah, Min Yoonji. Mari kita lanjutkan pengobatan lukamu.”

Orisinilnya, butuh waktu sebentar bagi Jimin menuntaskan aksi penyembuhan. Hanya saja, karena kloter terakhir ialah luka terparah, Jimin mantapkan jiwa supaya tidak terlampau sering gamblangkan ringisan. Namun, menurut Jimin, Yoonji ini hebat. Satu kali pun tak Jimin saksikan fenomena ekspresi kesakitan yang tertinggal di wajah putih Yoonji, adanya pandangan tidak beremosi yang membikin Jimin mengira; sebenarnya, yang sakit di sini siapa?

Daya tahan hampir sehebat Jungkook—padahal Yoonji seorang gadis—patut diacungi ibu jari.

"Selesai." Jimin melepas interaksi tangannya di kulit Yoonji. Menatap lamat-lamat sekali lagi sebelum mengangguk tegas, setidaknya ia puas Yoonji dapatkan pertolongan kecil atas luka-luka tersebut. Jimin memberesi serba-serbi pengobatan kembali ke kotak, sisanya seperti mangkuk kecil dan handuk, Jimin simpan di samping pinggang manakala ia beranjak. "Oh iya, aku tadi menyiapkan makanan untukmu. Tapi maaf, hanya nasi dan kare instan—ah, perlu kujelaskan apa itu?"

"Hm," Yoonji bergumam serius. "Sesuatu yang membuatmu kenyang?"

Wah, hebat. Dia tahu pasal makan, tapi lupa eksistensi serta fungsi minum. Jimin tersenyum maklum berupa reaksi.

"Aku sering mendengar orang-orang bicara begitu," Yoonji minimpal tiba-tiba. Ia mengerutkan kening. "Salah, ya?"

"Tidak, tidak. Apa yang kau dengar dan ucapkan itu benar. Makan adalah sesuatu yang bakal membuatmu kenyang," jelas Jimin membenarkan. Mau bagaimanapun esentriknya, ini sudah menjadi kemajuan. Jadi, ia tak perlu buka sesi edukasi lebih panjang. "Ayo."

"Jimin."

Langkah awal Jimin terinterupsi oleh suara yang entah mengapa terasa menggelitik lorong pendengaran. Ia arahkan kepala ke sumber suara. "Ya?"

"Aku juga tidak tahu ini benar atau salah, karena aku memang banyak tidak tahu. Tapi ... em, terima kasih?" Yoonji mengacung telunjuk ke atas.

Mendadak hati Jimin menghangat atas Yoonji yang kentara berusaha. Dan berupa implementasi, bibirnya mekar lebih lepas seraya berujar, "Sama-sama." []

akhirnya punya nama, ngga lagi panggilin sosok itu 😆

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

akhirnya punya nama, ngga lagi panggilin sosok itu 😆

That IllegirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang