[02] Illegirl

1.8K 242 29
                                    

"Kenapa diam saja? Silakan duduk," Jimin menginstruksi segera saat ia dapati sosok tersebut masih tercenung lurus di pinggir tangan sofa. Karena yang Jimin terima hanyalah pandangan dan kerjapan kosong, maka sudah jadi tugasnya untuk menuntun. Jimin gunakan salah satu tangan bebasnya untuk menarik lalu menekan lembut bahu itu supaya mempercayai tubuhnya meluruh nyaman di atas sofa. Arkian, Jimin sodorkan satu gelas berukuran sedang. "Minum dulu."

Sosok itu berlarian pada satu poros, menatap Jimin dan gelas bergantian. Tidak ada gerakan signifikan bahwa dia akan mengambil alih, selain menelengkan kepala. Sehingga di bawah sambungan alis keheranan, Jimin mesti mengulang bersama sedikit isyarat naik-turunkan gelas serta dagu, "Tunggu apa lagi? Meski isinya hanya air mineral, tidak beracun. Sungguh."

Kendati nampak skeptis, akhirnya sosok itu menurut. Selama dia menegak, Jimin tidak lepaskan atensi barang sekejap. Meneliti dari sudut ke sudut seonggok entitas di hadapannya. Demi apa pun sosok itu kacau, kelewat kacau. Keseluruhan yang melekat itu semrawut, persis, tahu keadaan orang yang tersengat listrik atau tersambar petir? Begitulah kiranya, dan sungguh, Jimin tidak berlebihan. Bahkan ia berani bertaruh, Jung Hoseok akan kehilangan setengah jiwanya dalam sekali lihat.

Koyakan di pelipis kumal itu membanting sorot Jimin berubah nanar diseimbangi mimik meringis. Satu kali, ia pernah rasakan bagaimana menjadi manusia memprihatinkan bersama luka dan lebam di sekujur wajah. Kenangan lama yang mengedukasi Jimin agar tidak coba-coba lagi berlagak hebat dan congkak, sehingga membentuk seorang Park Jimin yang sekarang.

Pengalaman adalah guru kehidupan terbaik, bukan?

Jimin melepaskan dehaman ringan. Sigap menyambut gelas yang sudah tuntasi tugas menyirami kerongkongan si pemilik yang nampak linglung hendak diapakan benda di tangannya. “Sebelum kita obati lukamu, ada baiknya kau membersihkan diri,” Jimin membuka suara dengan raut mendadak bersalah. Sembari meletakkan gelas di atas meja, ia menyambung, “Ah, maaf. Aku tidak berniat menambah rasa sakit padamu, tapi akan jadi percuma apabila kita lakukan pengobatan dengan keadaan begini. Yang ada malah memperburuk lukamu.”

Timbal balik yang Jimin terima dari segi desibel bertajuk nihil. Lantas ia tersenyum canggung. Tak apa, Jimin sama sekali tidak tersinggung. Hal wajar kau jadi bungkam tatkala sedang didekap erat ketidakberuntungan. Ia pun pernah begitu, tetapi tidak dibiarkan terlalu lama memegang otoritasnya.

Sudahlah, cetusnya tanpa suara. Jimin menghela sejenak kemudian menepuk paha atas sebagai ancang-ancang bahwa selanjutnya ia akan bediri. “Ayo ikut aku, akan kutunjukan kamar mandinya.”

“Kamar mandi?”

Secara kompak, bibir dan mata Jimin membulat kecil. Akhirnya, ia peroleh jawaban atas pertanyaan pasal suara. Jujur saja sempat terbesit di benak Jimin kalau-kalau sosok ini tunawicara. Tenang, hanya sekilas karena Jimin enggan racuni kognisi, nanti berubah semakin lancang bila dipersilakan. Kendati warna vokal tersebut samar-samar, Jimin tidak bisa untuk tidak mengangguk. “Ya.”

“Mandi?”

“Ya,” ulang Jimin, lagi-lagi.

Sosok itu beranjak. “Mandi itu ... apa?”

“Maaf?” Jimin nyaris menjatuhkan rahangnya begitu saja. Mata yang baru selesai membeliak mesti kembali terima kenyataan atas dasar keimpulsifan.

“Apa ... aku membutuhkannya?”

Astaga, astaga, astaga. Orang ini bahkan terlampau sukses membikin Jimin acak-acakan isi kepalanya ketimbang manusia berkedok teman yang menebar tipu muslihat melalui kemilau iming-iming hingga bisnisnya alami keterpurukan. “Lelucon, ya? Lucunya.” Jimin memang umbar tawa sampai terpingkal, tetapi sejatinya ia tidak anggap demikian. Terlalu garing, astaga. Dan jangan sampai sosok di hadapan ini menyanggah.

Sosok tersebut melempar kepala ke kanan lalu berucap dengan lugunya, “Le-lelucon?”

Serius?

Habis sudah kebolehan kognisi Jimin, terlecehkan akibat ulah diri sendiri. Lantas Jimin mengusap wajah, mencoba sematkan sebuah senyum maklum. Beragam konklusi bisa Jimin petik, dan amnesia adalah pilihan memungkinkan mengingat Jimin sempat melihat bagaimana kepala semrawut itu mesti terhantam kaki dan dinding sekaligus.

Gawat. Jika demikian, Jimin rasa perlu membopongnya ke rumah sakit sehabis mendapat pertolongan pertama. Atau haruskah ia lekas ajak detik ini juga? Mendadak Jimin menggeleng. Tidak, tidak. Usai membersihkan diri serta mendapat pertolongan pertama merupakan yang terbaik.

"Intinya, mandi itu adalah kegiatan yang akan membuatmu bersih dan sehat. Aku ingin kau mendapatkan keduanya." Harapan besar Jimin lambungkan agar kalimat sederhananya itu juga mudah dicerna. Akan tetapi, mengapa konyol sekali, amnesia sampai lupa kegiatan dasar kemanusiaan semacam ini. Dan tahu apa yang lebih konyol? Jimin tetap menyanggupi kekonyolan itu.

Lantaran dirasa kurang prima melalui teori, Jimin ambil sebelah lengan sosok itu, menuntunnya menuju kamar mandi. Ketika tiba di tujuan, Jimin serta-merta menunjuk dan memaparkan fungsi atribut kegiatan mandi dengan telaten, bahkan tidak meluputkan bagaimana cara menyikat tubuh yang benar. Enyahkan pikiran Jimin bakal memandikan, sebab dia sungguh hargai privasi.

Privasi milik orang asing.

Anggukan telah Jimin kantongi, dan agaknya sosok tersebut sungguh mengerti, nampak dari perubahan kecil di sorotnya. Ia undur diri, mengambil rute kanan yang tidak lain kawasan dapur. Selain memanaskan kare dan nasi instan—dia tak memiliki kesempatan memasak, pemandangan isi kulkas pun lapang—Jimin lakukan berbagai rutinitas selama menunggu. Menyiapkan kotak obat, menata kamar kosong di samping kamarnya agar sedikit layak ditinggali, bahkan menghitung ketebalan kandungan dompet. Jimin yang duduk berpangku tangan sambil mengawang lurus ke arah kamar mandi pun menghela.

Semoga dia mandi dengan benar.

"Apa begini sudah cukup?"

Pemuda Park tertarik ke realita, membenahi kesadaran supaya kembali semula. Kerjapan di kelopak tebal Jimin mulai bertempo cepat seiring bulir-bulir air mengalir deras pada tubuh porselen yang terpancang sekitar enam langkah di depannya. Bibir Jimin beranjak membikin lengkungan.

Sepertinya dia memang mandi dengan baik.

Apa?

"Hua! Astaga! Astaga! Astaga!" Sekonyong-konyong Jimin memekik sambil buang muka ke belakang. Sekujur kulitnya mendadak seperti direbus. Jimin merinding atas pemandangan yang mulai dipahami. Ia menggeleparkan tangan tidak santai. "Handuknya! Tolong pakai handuknya!"

Dia seorang wanita.[]

anjir, gaje banget sumpah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

anjir, gaje banget sumpah. Gatau ini nulis apa :D

That IllegirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang