[04] The Girl

1.3K 217 16
                                    

“Ini, aneh sekali.” Jimin mendedikasikan dua maniknya kepada gadis yang berjalan satu langkah lebih depan darinya. Selaras ucapan, Jimin mutlak rasakan keanehan itu dalam otak yang di mana cabang benang pikiran tengah baku hantam, merebutkan posisi paling realistis yang cocok dijadikan akar problema sehingga miliki petunjuk akan pemecahnya.

Namun, membawa Yoonji untuk diperiksa keadaan otaknya pada Kim Namjoon—yang notabene punya sandangan keren dalam profesinya sebagai Dokter spesialis saraf sekaligus sahabat—hanya membikin Jimin tampung jawaban, bahwa tidak ada yang salah dari saraf di organ dalam tempurung kepala Yoonji. Singkatnya, otak Yoonji sehat.

Jika bukan amnesia, lantas apa yang membikin Yoonji punyai gejala demikian? Bahkan hingga luput ke dasar-dasarnya. Astaga, ternyata fakta tetap gigih berkata, Jimin mesti tahan berlama-lama dilanda kerumitan. Tanpa disadari, helaan napas panjang Jimin mengambil perhatian Yoonji. Gadis itu sejajarkan posisinya di sebelah Jimin.

“Ada apa?”

“Aku hanya sangat bingung, apa yang sebenarnya terjadi padamu. Di lihat lebih jelas pun kau seperti amnesia, atau parahnya seorang bayi, tidak tahu apa-apa. Namun, di lain sisi Kak Namjoon bilang, kau baik-baik saja.”

“Lalu?”

“Apa yang terjadi padamu?”

Yoonji simpan leher ke sisi kiri, sementara bahunya mengedik. “Aku pun tidak tahu.”

Ya, benar. Bagaimana mungkin Jimin  menanyakan hal yang sudah gamblang ujungnya? Dan terpenting, mengapa ia mesti sefrustrasi itu di saat fakta Yoonji tidak apa-apa adalah topik esensial dari tujuan.

Bodohnya.

Jemari Jimin mengikis kulit tengkuk. "Ya sudahlah, lupakan saja."

Alhasil, persetanlah amnesia. Jimin akan beri tutor baru tentang tetek-bengek kehidupan kepada Min Yoonji.

Mereka lanjutkan perjalanan menuju halte yang berada di jarak seratus meter lagi. Sepanjang momen singkat itu mereka isi dengan perbincangan yang berawal dari pertanyaan Yoonji. Tentu, ini area kota yang secara teknis menyediakan beragam pemandangan menarik minat atensi Yoonji. Untunglah, sesuai ikrar, Jimin meladeni Yoonji dengan telaten sampai bahasan mereka menjadi persis seperti bola salju. Terus melebar.

Asik melatih kelenturan rahang, Jimin baru sadar kalau Yoonji berada di sisi jalan. Segera saja ia tukar posisi dengan gerakan paling alami. Antisipasi, jalanan lenggang tidak menutupi kemungkinan-kemungkinan yang hendak terjadi. Malah terkadang lebih berbahaya.

Memegang bahu Yoonji sontak menyembulkan suatu gagasan. "Yoonji," panggil Jimin seraya menahan laju Yoonji dengan tarikan tangan. Mereka lantas saling berhadap. "Mau ke toko pakaian? Kita beli beberapa potong untukmu."

Iris Yoonji berlabuh ke bawah, tepat pada setelan kebesarannya. Tak lama, Yoonji mendongak kembali tatapi Jimin, merentangkan tangan kemudian menggoyangkannya. "Kenapa? Aku lebih suka memakai yang ini, kok. Rasanya nyaman sekali."

"Tapi itu pakaian laki-laki, tahu."

"Memang kenapa, jika laki-laki?"

"Kau, 'kan, perempuan. Tidak malu, memang?"

"Pokoknya, aku suka yang seperti ini, dan aku akan terus memakai yang ini," tukas Yoonji seolah enggan mengulur perdebatan. Walau masih kaku, progres Yoonji menyoal reaksi sedikit-banyak mengagumkan Jimin, ngomong-ngomong.

Aslinya, Jimin betul-betul mau membelikan Yoonji pakaian selaras dengannya. Akan tetapi, secara tidak langsung sekaligus tidak sadar, Yoonji seperti paham serta mengingatkan kondisi dompetnya yang terancam terkikis. Namjoon tadi saja pakai harga sahabat—Jimin senantiasa merasa beruntung punya kawan-kawan berhati jelita. Dan semacam berkah berjudul kebetulan, ia ingat memiliki bertumpuk-tumpuk setelan terbengkalai. Pasal kelayakan, Jimin berani jamin.

"Oh iya, Jim. Malu itu apa, ya?"

Jimin terkekeh untuk dua alasan; ekspresi bingung dan panggilan Jim dari Yoonji. Penjelasan definisi malu lantas terhempas, berganti dengan seruan lantaran Yoonji yang tiba-tiba berlari ke arah berlawanan, "Hei, Yoonji, mau ke mana?" Cepat-cepat Jimin menyusul. "Yoonji, tunggu!"

Laju Yoonji berhenti tepat di depan seorang wanita renta. Tanpa terlihat menetralisirkan napas, Yoonji merunduk supaya sejajar dengan lawannya arkian mencipta suatu pembicaraan. Lain hal Jimin, ia lekas mengusap dada kirinya. Tidak, tidak bukan sebab berlarian. Karena, hei, jarak sedekat itu tak mungkin gampang membuatnya terengah-engah. Melainkan tenangkan jantungnya yang mengelinjang, khawatir Yoonji lakukan hal-hal aneh.

Namun, Yoonji sama sekali tidak melakukan hal aneh. Itu hal luar biasa sampai kehangatan yang dihantarkan memecut Jimin menyematkan senyum terbaik, baik di bibir maupun di mata. Keduanya melengkung indah. Bisa-bisanya gadis itu menawarkan diri mengantar seseorang padahal ia sendiri belum tahu apa itu malu.

Masih dalam pembawaan estetika, Jimin menengahi kedua orang tersebut. "Sebelum pergi ke sana, Nenek harus naik bus di halte itu terlebih dahulu."

Mata tua itu mengedip lambat. "Begitu? Terima kasih, ya, Nak."

"Baiklah. Karena akan menyebrang, kami akan mengantar Nenek. Boleh, 'kan?"

Memperoleh anggukan sebagai persetujuan, Jimin taruh sebelah tangan di sisi bahu Nenek tanpa mengurangi rasa hormat. Dan sebelum langkah dimulai, Jimin simpan sebelah tangan lainnya guna menggenggam Yoonji.[]

semakin ngawoer dan semakin ngawoer

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

semakin ngawoer dan semakin ngawoer. Tapi, enjoy ya uvvu.

That IllegirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang