"Sedang apa?"
Jimin gulirkan kelerengnya ke ekor, menangkap Yoonji yang berderap mendekat lalu menjatuhkan diri di sofa. Sekian detik kemudian, ia lanjutkan tarian jemarinya di atas benda elektronik seukuran buku besar di hadapan. "Menuntaskan apa yang sempat tertunda agar mendapatkan yang sepantasnya."
Entah paham atau tidaknya, Yoonji mengangguk-angguk.
"Tidak tidur?" Jimin mengumbar pertanyaan tanpa limpahan atensi.
Kali ini, Yoonji menggeleng. "Sudah, tapi terbangun."
"Mimpi buruk?"
"Tidak juga. Hanya tiba-tiba terbangun."
Indra penglihat Jimin menyedot deretan angka di sudut layar. Ia bilang, "Kalau begitu, kembalilah tidur. Ini masih larut."
"Sudah tidak mengantuk." Yoonji menyederkan kepala belakang di punggung sofa sambil menatap intens layar menyala depan Jimin. "Aku akan menemanimu di sini saja. Pekerjaanmu di benda itu masih lama, 'kan?"
"Hm." Kendati menggumam tidak berartikulas, maknanya cukup jelas kalau apa yang sedang ia geluti di laptopnya betulan butuh waktu untuk selesai. Bahkan Jimin skeptis bisa tuntas dalam semalaman. Jika bukan karena ingin memperlancar roda kehidupan yang sekarat, bisa jadi Jimin ditemukan melanglang ke alam bawah sadar di pukul ini.
Bisa jadi. Mungkin. Mengingat Park Jimin gemar sekali membanting tulang tanpa kenal masa.
"Seandainya mengantuk, kembalilah ke kamar atau tidurlah di sini, nanti kubangunkan, bilaperlu membawamu ke kamar. Mengerti?" instruksi Jimin dengan telunjuk kanan mengacung.
"Oke."
Kesenyapan memegang otoritas keadaan itu tidak sepenuhnya benar, suara perpaduan antar jemari dan properti kerja milik Jimin pematahnya. Namun, beberapa menit berlalu memang tidak ada yang menyambung atau menciptakan percakapan. Oleh sebab itu, manakala resonasi sofa berderit dan siluet remang di dinding merangkak naik, Jimin meloloskan dengusan ringan.
Yoonji menyerah begitu cepat, agaknya. Bibir Jimin melukis kurva. Baguslah. Tidak baik juga seorang gadis tidur telat, ditambah sitiasi Yoonji sedang dalam masa penyembuhan. Ya, di sini, Jimin menolak sadar, dia pun butuh yang namanya istirahat. Ia kembali kumpulkan cabang dari fokus agar menjadi kesatuan.
Kendati demikian, kebenaran pasal realitas tak selaras ekpetasi terkadang mengakibatkan manusia absolut dibercandakan. Presensi Yoonji melesak masuk dari ekor mata hingga berada lurus di hadapan, lalu tinggalkan sebuah benda berisi genangan berwarna cokelat dengan kepulan asap tipis di samping alat kerjanya.
Pandangan Jimin mendongak. "Cokelat panas?"
"Ya," balas Yoonji cepat. "Karena kukira akan cocok buatmu."
Gerik atensi Jimin mengalur pada reposisi Yoonji yang mendudukkan diri di sana. Jimin sudah tidak bisa kaget atas segala reaksi maupun perilaku Yoonji, sebab dia telah banyak tunjukan kemajuan dalam sekali ajar pada hari ini. Dan yang ia implementasikan kali ini sangat tepat, Jimin butuhkan asupan guna memperbaiki apa yang terlanjur acak-acakan sejak ia putuskan berkutat terhadap perjuangannya.
"Terima kasih." Tatkala meraih gagang cangkir, senyum Jimin mengembang simpul. Sementara Yoonji membalas terima kasih Jimin menggunakan bahasa tubuh; anggukan. Dalam takaran kecil, Jimin menyeruput. "Mana punyamu?" Jimin menyambung tanda tanya kala sadar, jika Yoonji hanya membawa sebuah cangkir.
"Setelah kucicipi, ternyata lidahku tak begitu cocok dengan rasa itu."
"Oh!" Sontak Jimin menjauhkan bibirnya dari libium cangkir yang isinya tinggal setengah. Dia curahi Yoonji tatapan atraktif. "Jadi, ini punyamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
That Illegirl
Fanfiction[COMPLETED] Malam itu, bukan hanya sekantong camilan yang Park Jimin boyong ke tempat tinggal barunya, tetapi juga seseorang yang ia temukan di sudut keremangan dengan kondisi memprihatinkan. ©suyominie, 16-04-2019.