02. Bingung

90 13 2
                                    

Hari telah berganti baru, bagiku yang telah mengalami hari buruk kemarin, hanya berharap hari ini diganti dengan yang lebih baik.

"Mark, nih burger McD" tawarku pada Mark saat nongkrong di sekretariat OSIS

"Lah, burger kemaren?"

"Bukan, barusan gue abis go-food"

"Buat gue?"

"Banyak bacot lu ah, yaudah sini kalau gamau" desahku, sebab Markbul ini banyak omong sekali.

"Eh, iya sini gue ambil. Kan gue kira, kemaren Jeno gak dateng, jadi burgernya dikasih ke gue deh"

"Berisik Mark!" kesalku

"Sensi amat, jangan-jangan beneran nih?"

"Iya emang dia gak dateng, tapi bukan berarti kentang bekas kemaren gue kasih ke lo juga. Gue juga masih punya hati ya" ternyata benar aku memang sensi seperti apa yang Mark kira.

Entahlah, moodku masih belum juga membaik. Notif baru pun muncul, menyita perhatianku.

LINE

jen🐋
zara, aku jemput 15 menit lagi

Tuhan. Memang benar, sesuai janjinya, ia akan membayar pertemuan kemarin yang gagal. Kalau begini caranya, memang tak ada kesempatan bagiku untuk marah pada Jeno, ia tau kapan ia salah,
tak pernah gengsi untuk meminta maaf dan memperbaiki kesalahannya.

Sekarang paham kan? Kenapa aku selalu menuruti perkataannya, tak pernah membantah apapun keputusannya. Sebab Jeno adalah laki-laki baik, ia selalu berusaha menjaga perasaanku, hingga tak pantas bagiku untuk malah menyakiti perasaannya.

"Zar, noh si Jeno udah didepan. Gak usah numpang ke gue lagi ya" tutur Mark seraya menunjuk ke depan

"Yey, pelit lo. Pantes jomblo" ejekku.

Aku memandang motor ninja merah kesayangan Jeno di parkiran. Kebetulan parkiran berada tepat disebrang Sekretariat Osis, tempatku berada.

Jeno melambai hangat kearahku, seraya memperlihatkan eye-smile nya. Bagian favoritku dari wajah Jeno.

"Dah Markbul, gue mau ngedate dulu, hehehe" usilku pada Mark yang kebetulan memang jomblo

"Tadi sensi gara-gara Jeno, sekarang dijemput malah sumringah lagi. Dasar bucin" ejek Mark

Disisi kanan, aku dapat melirik Renjun yang tampak menggeleng-gelengkan kepalanya. Masa bodoh! Siapa yang peduli dengannya!

Aku berjalan ke arah parkiran dengan hati yang berbunga-bunga, siapapun yang melihat caraku berjalan, pasti mereka menduga aku sedang jatuh cinta. Mungkin saja iya, meskipun 3 tahun lamanya menjalin hubungan, aku selalu merasa sedang menjalani masa PDKT, alias selalu bahagia hehe.

"Yuk, naik" pinta Jeno dengan ramahnya.

"Hehehe, iyaa ayo!" nada bicaraku dibuat seakan-akan aku adalah majikan yang sedang berbicara pada kucing yang tidak boleh disakiti perasaannya. Kubalas perkataan Jeno sama lembutnya

Selama perjalanan, aku tak tahu mau dibawa kemana. Jalanan Bandung cukup ramai saat itu, Jeno banyak bercerita tentang team futsalnya yang terus menerus mengalami kemunduran saat lomba, dan sebagai kapten team, Jeno merasa sangat terbebani.

Mendengar keluhannya, seakan diri ini diberi tamparan keras. Bahwa selama ini aku terlalu egois, menanti waktunya yang disediakan untukku, tanpa memikirkan bebannya yang ia pikul selama ini. Hal ini, membuatku semakin tak tega menyakiti Jeno.

Kencan biasa pada umumnya, Jeno mengajakku makan malam bersama lalu pergi ke mall untuk sekedar jalan-jalan ria.

"Zara, kita pulang ya?" ajak Jeno

"Kenapa?" tanyaku bingung, padahal sedang asyik-asyiknya.

"Ini udah malem. Nanti mama khawatir"

Klasik. Aku hanya tersenyum simpul. Tak mengerti apa yang ia maksud kali ini, namun memilih untuk diam, tak mengelak.

Sesaat sampai dirumah, tiba-tiba pikiran buruk menghampiriku. Mungkinkah Jeno punya sesuatu yang dirahasiakan dariku. Namun segera kuusir jauh-jauh pemikiran itu.

Kurebahkan diri pada sofa empuk diruang tamu, namun memang sepertinya keheningan tak pernah berpihak padaku.

Tok tok tok

Kuangkat kakiku malas menuju pintu, siapa lagi yang mengunjungi rumah orang malam-malam? Mama dan Papa memang orang penting yang selalu dicari.

"Lah elo lagi?!" hujatku

"Iya gue" jawab Renjun santai

"Lo mau apa sih? Pusing gue ketemu lo mulu!" ujarku setengah berteriak

"Harusnya lo pusing ketemu Jeno mulu" jawabnya masih dengan santai

Aku terdiam cukup lama, guratan wajahku menunjukkan kekekesalan dan sempat memaki-maki dalam hati.

Renjun menatap mataku lekat.

"Gak usah ngehujat orang dalem hati, ntar hati lo jadi kotor"

"Hhh, bilang aja lo modus mau ngatain hati gue kayak bidadari!" kali ini aku tak dapat menahan ketawa.

"Gue kesini bukan buat modusin lo"

"Ya terus mau ngapain?"

"Mau minta id-line lo"

HAHH! Rasanya ada orang sinting nyasar ke rumahku dua hari ini. Yang benar saja?!

"Renjun..." kali ini aku memelankan suaraku

"Lo gak perlu repot-repot kesini. Add aja gue dari grup OSIS, bisa?" ada nada mengejek disana.

Renjun tampak tak suka dengan perkataanku.

"Not my style" ujarnya singkat.

'Tapi lo keliatan jadi bego kalau begini caranya jun. Gue tau lo pinter"

Ada jeda cukup lama setelah percakapan itu. Aku tak dapat menebak apa yang ada dipikirannya.

"Sekalian izin, kalau... ngechat lo.. boleh?"

Berbanding terbalik dengan kepribadian aslinya, kali ini nada bicaranya tampak ragu-ragu, seperti tak yakin, tapi aku mendengar nada yang tulus disana.

Hatiku bergetar, rasanya beda. Tak seperti saat Jeno mengutarakan rasa sayangnya padaku. Intinya beda, dan entah apa.

Bisa bantu aku menebak perasaan apa ini?

ADU RAYU : Jeno RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang