07. Teman

28 7 0
                                    

Renjun's POV

Gue yang terjebak disituasi itu bener-bener bingung! Setelah sekian lama, akhirnya gue ngeliat hal itu kembali, hal yang buat pertahanan hati gue runtuh : tangisan perempuan.

Zara terus meraung memanggil Jeno, yang semua orang pun tahu, Jeno adalah pacarnya. Sesuatu yang menyadarkan, kalau bukan hak gue untuk menenangkan Zara, apalagi memeluknya. Gue terjebak dikondisi yang salah.

Meskipun begitu, gue gak bisa ninggalin perempuan nangis sendirian. Karena hati gue, ikut patah, waktu tau dia nangis, lagi.

Gue yang ngeliat HP Zara tergeletak dilantai, dengan cepat memanggil kontak yang langsung terlintas.

Dan kontak yang muncul diseluruh HP nya cuma satu : Jeno.

Tanpa ba-bi-bu, gue langsung nelefon no. itu.

Calling Jeno...

Calling Jeno...

Sial! 20 panggilan gak ada satupun yang diangkat. Gue gak mau nyerah, dan memutuskan untuk nyoba lagi.

Calling Jeno...

What?... Gue harap apa yang gue liat saat ini gak nyata, karena Jeno ngedecline panggilan Zara? Ada apa?
Setelah itu, ada notif line yang masuk, nama orang itu terpampang lagi.

LINE

jen🐋
ada apa? hari ini aku gaada waktu buat kamu, jadwal futsal aku padet, gapapa ya?

read

Gue tersenyum sinis ngeliat pesan itu. Dan semenjak itu, gue paham kalau Jeno itu bahaya

Tanpa mikir dua-kali, terhapuslah pesan sialan itu. Gimana kalau Zara baca? Bahaya buat dia, dan buat hubungan mereka. Sekali lagi, gue gamau ikut campur.

Tangisan Zara belum reda, masih sama histerisnya. Bisa aja dia bilang gue temen yang brengsek, karena gue gak ada usaha buat nenangin dia. Maaf, gue cuma gak mau kelilit masalah.

Beralih dari HP Zara ke HP gue sendiri, ngehubungin setiap kontak cewek yang ada di LINE gue, rencananya biar mereka bisa nemenin Zara disini. But sh*t, unluckily gue cuma nyimpen 1 kontak cewek, kontak yang gue mintain malem-malem didepan rumahnya. Gak perlu gue perjelas, pasti tau siapa orangnya.

Mulai stress, akhirnya gue ngehubungin kontak cewek-cewek itu lewat HP Zara juga. Renjun, lo bodoh banget asli hujat gue.

Gue nunggu hampir 20 menit sebelum temen-temennya dateng, selama itupula Zara masih nangis, dan gue? tetep diem, mandangin Zara dari tempat ini dan gak bisa berbuat apa-apa. Hati gue ikut sakit.

Herin, Lami, Koeun, dan Ningning dateng dari kejauhan, gue nyusul untuk bukain pagar

"Zara, lo kenapa?" kata Herin

"Tumben lo gak cerita sama gue, Zar" ujar Lami

"Zar, lo gak biasanya nangis deh, aneh gue ngeliatnya sumpah" kali ini malah Koeun tertawa

Gue auto tepuk jidat, seumur hidup gue gak pernah nentuin keputusan sefatal ini. Misi gue buat nenangin Zara : gagal.

Tapi ada satu hal yang buat gue terkesan, ternyata selama ini Zara belum cerita sama temen deketnya sendiri, dan malah mempercayakan untuk cerita ke gue? Hal ini membuat gue janggal.

Oh, gue tarik ulang pernyataan misi itu gagal. Karena, detik ini gue ngeliat Zara senyum, dan bilang "Gue gapapa, lo semua nya aja yang lebay", kemudian senyum itu makin tulus adanya.

-----------------------------------

Zara's POV

"Eh jun, lo mau kemana? Udah mau cabut aja lo" ujarku

Kulihat Renjun diam-diam meninggalkan teras rumah, berjalan menuju pagar. Aku paham, daritadi kerjaanku hanya mengobrol dengan kaum perempuan, hingga lupa ada Renjun yang sebenarnya tak mau diajak bergosip.

Ia tampak kebingungan menjawab pertanyaanku, namun tetap menjawab "Gue masih ada urusan, gue cabut ya" disertai senyum yang kesannya agak dipaksakan.

Yasudah batinku. Aku memandang tubuh Renjun yang melengang pergi.

"Nah kan, bener kata gue" ucap Herin mengejutkan

Aku mengerutkan alis, tak paham apa maksudnya.

"Renjun deketin lo, Zaraa ya ampun!" ucap Herin kemudian

Belum sempat aku membela diri, Koeun, Lami dan Ningning langsung menyerbuku dengan pertanyaan berantai

"Lo udah sejauh mana sama dia?"

"Kok lo bisa-bisanya pulang bareng dia?"

"Hati-hati sama Renjun, zar. Lo gak mau Jeno marah kan?"

Pertanyaan itu terdengar wajar bagiku, karena selama 3 tahun, bisa dibilang, aku cukup mengisolasi diri dari pergaulan dengan lawan jenis. Jeno memang tak membatasi, namun sekiranya aku yang tahu diri.

Aku menghargai reaksi teman-temanku, sungguh mereka sangat peduli.

"Zar, lo harus jaga perasaan Jeno" tutup Herin kemudian.

Aku mengangguk, tanda setuju dengan nasihat mereka. Biar bagaimanapun aku memang tak bisa menyakiti perasaan Jeno.

Herin, Koeun, Lami dan Ningning pamit untuk pulang. Bahkan aku belum sempat menceritakan apa yang menimpa keluargaku. Biar tak apa, aku tak ingin menambah beban pikiran mereka dengan masalahku.

Mengingat masalah pribadiku belum selesai, aku menelfon Mama dan Papa, berharap mereka tak lagi menggantungku dengan cerita yang tak jelas. Aku berhak tau, tak sepatutnya masalah ini mereka sembunyikan.

Papa Siwon menjawab panggilanku, hanya terucap kata maaf beribu kali dari mulutnya. Entah maaf untuk apa, Maaf karena kabur dari rumah? Maaf karena menyiksa Mama? Aku tak paham. Ia berjanji akan pulang ke rumah dalam hitungan menit.

Menit pun berlalu, kini dihadapanku muncul seorang Pria paruh baya yang amat kukenal. Kutelusuri wajahnya, kini tersirat kelelahan dibalik itu semua. Biar bagaimanapun sentuhannya pada pucuk kepalaku tetap lembut, tak berubah

"Maafkan Papa, nak" tuturnya rapuh. Tangannya mulai membawa tubuhku pada pelukannya.

Tubuhku dihujam campur-aduk rasa, namun yang paling aku rasakan adalah ketakutan. Mengapa? Sebab, semenjak Papa menyiksa Mama, aku tahu kelogisan Papa sudah hilang dimakan amarah. Cinta nya bagiku dan Mama bisa saja ikut lenyap. Sungguh, aku takut.

ADU RAYU : Jeno RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang