Melirik pada Hinata yang masih menatapnya, apakah istrinya sudah menghubungi Neji? Setelah dipikir-pikir kembali sepertinya tidak. Hinata tidak memegang ponsel bahkan dia tidak punya nomor Neji lalu Neji tahu dari mana jika Hinata sudah tidak di rumah sakit lagi. Para keluarga belum ada yang tahu tentang kepulangan Hinata. Lantas mengapa Neji meneleponnya dan mengancam dirinya jika tidak membawa Hinata keluar dari kamar maka dia akan memberitahu keluarganya."Kau ikut aku! Tapi ingat jangan mengatakan apapun pada nii-san mu itu!" Kemana suara Naruto yang selama ini memanggilnya dengan lembut? Tapi Hinata merasa tidak asing dengan suara itu bahkan dia seperti sudah terbiasa. "Bersihkan dirimu terlebih dahulu"
Hinata menuruti apa kata Naruto, tapi karena kondisinya ini membuat dirinya sedikit lambat. Naruto yang melihat itu dan ponselnya terus berdering ia jadi geram pada Hinata.
Digendong Hinata ke kloset, di dudukkan dengan kasar Hinata disana. "Nii-san mu terus menelepon ku"
Entah Naruto kesal pada Hinata atau Neji hingga berbuat kasar pada Hinata. Naruto terus menyemprotkan air pada Hinata tanpa henti. Hinata merasa perih saat air mengenai lukanya dan dia kesulitan bernapas. Berkali kali dia menyuruh Naruto berhenti tapi dia tidak menghentikannya.
"Ssh kumohon hentikan" mata Hinata sudah memerah bahkan air mata telah menyatu dengan air yang disemprotkan Naruto.
"Sakit? Bukankah tadi kau sudah menyakiti dirimu? Kurasa ini tidak ada sakitnya untuk mu"
Lahi dan lagi ponselnya terus berdering, di banting shower yang ia pegang. Mengangkat telepon itu tapi matanya menatap tajam pada Hinata selama pembicaraan.
"Kami segera kesana" ujar Naruto sebelum menutup teleponnya.
Hinata yang masih mengatur nafasnya terkejut saat ada yang melempari dirinya dengan pakaian. Siapa lagi kalau bukan Naruto.
Melihat Naruto yang pergi begitu saja bahkan membanting pintu dengan kasar Hinata merasa itu bukan Naruto yang baru baru ini ia kenal. Apakah itu jati diri Naruto yang sebenarnya?
Selesai dengan pakaiannya Hinata berusaha berdiri dengan memegang tembok. Tembok keramik ini licin begitu juga dengan lantainya. Jatuh pun pasti terjadi dan suara dirinya yang membentur lantai menjadi alarm bagi Naruto.
Seberapa kasarnya Naruto pada Hinata tetap saja kekhawatiran terhadap istrinya itu tetap ada. Melihat keadaan istrinya yang sedang duduk di lantai terselip perasaan bersalah sejujurnya dia juga tidak ingin berprilaku seperti tadi. Namun, dia hanya tidak suka jika Hinata membangkang pada dirinya.
"Duduklah di sini aku akan mengambil rok untukmu" Naruto menurunkan Hinata pada ranjang selembut mungkin berbeda dengan yang tadi. "Pakailah" Naruto memberikan rok rampel ungu tanpa motif sebawah mata kaki.
"Jika Neji menanyakan luka mu carilah alasan yang masuk akal" ujar Naruto sambil mengoleskan salep di pergelangan kaki Hinata. "Ini kau lanjutkan" Naruto memberikan salep itu pada Hinata. "Aku duluan"
Begitu Naruto pergi tumpah sudah air matanya yang sadari tadi Hinata tahan. Membekap mulutnya agar isakannya tidak keluar. Neji ya? Apakah dia orang yang bisa dirinya Percaya? Apakah di dunia ini tidak ada yang peduli padanya? Dirinya butuh bantuan, ia takut pada Naruto seseorang yang selama ini dia kira pelindungnya.
Ayah dan ibunya? Mengingat perkataan Naruto bahwa mereka sama sekali tidak pernah menyayangi nya membuat dia bingung antara Percaya atau tidak.
....
Senyum yang terpasang di wajah dingin Neji membuat Naruto ingin memukulnya. Kenapa dari banyaknya orang harus Neji ya mengancamnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
harapan #2
Non-Fiction[Naruhina] Yang sudah membaca harapan #1 ini lanjutannya...