Satu di antara mereka tidak ada yang berani membuka mulutnya saat melihat sang nyonya dikurung di ruangan yang seluruh dindingnya dilapisi semacam bantal."Jangan biarkan dia keluar" seluruh maid yang ada di sana mematuhi majikannya.
Mereka bergilir menjaga ruangan itu setiap 2 jam sekali. Tidak terdengar suara apapun di dalam sana, ruangan itu kosong tidak ada apa-apa hanya ada bantal dan kasur lantai. Naruto sudah menyiapkan hal ini dari hari pertama dia sampai di Amerika.
Naruto sepanjang malam tidak tidur dia masih memikirkan apa yang akan terjadi saat ibu dan ayahnya ke sini. Telepon terus saja berdering sang ibu dari malam tidak berhenti untuk meneleponnya. Jika dia mengajak Hinata untuk berkerja sama dengannya apakah dia mau? Dia tidak mau menyakiti Hinata lagi sudah cukup dia membuat wanita terkasihnya menangis semalaman.
Neji, ini semua karena pria licik itu yang menginginkan dirinya untuk mundur dari kerjasamanya dengan pemerintah di sini. Tentu saja dirinya menolak dengan dirinya berkerjasama dengan pemerintah maka Namikaze corp akan mendapatkan keuntungan berlipat ganda. Neji ingin Hyuga corp yang menggantikannya yang di pimpin oleh dia sendiri.
"Berikan sarapan itu" Naruto dengan langkah perlahan berjalan menghampiri ruangan tempat Hinata tidur. Di lihatnya Hinata yang terus memandang kosong pada pintu yang baru saja ia tutup. "Ini makanan kesukaan mu" Naruto menunjukkan makanan itu pada Hinata yang masih aja diam.
"Haus" ujar Hinata dengan suara seraknya. Apa Hinata semalaman terus berteriak?
Naruto beri segelas air pada Hinata, dalam sekali teguk langsung habis.
"Ini Makanlah" satu demi suap Hinata makan, tangannya gemetaran saat mencoba memasuki makanan itu pada mulutnya.
"Hinata" panggil Naruto membuat Hinata menoleh padanya. "Hari ini kita ke rumah sakit"
"Kita?" Tanyanya.
"Ya" sambil tersenyum menanggapi hal itu.
"Mengapa baru sekarang?"
"Apanya?" Tanya Naruto bingung
"Mengapa baru sekarang kau ingin pergi dengan ku!"
Diam sejenak Naruto sedang memikirkan kalimat apa yang cocok buat Hinata. Ya karena aku peduli? Sepertinya Hinata sudah tidak akan percaya. Karena aku ingin menghabiskan waktu berdua di luar bersama mu apalagi itu. Sekalian aku ingin berangkat kerja sepertinya ini cocok.
Prank
Naruto terkejut melihat piring yang yang sudah terpecah dengan nasi dan lauk berceceran di lantai. Di lihatnya Hinata yang sedang menatap pecahan piring itu dengan tubuh bergetar. Dengan segera Naruto bereskan pecahan itu jangan sampai Hinata menyentuhnya.
"Kau tahu apa yang akan kau katakan dan lakukan, aku tidak akan menerimanya" mata Hinata menunjukkan kemarahannya pada Naruto.
"Kau! Tidak ada bantahan hari ini harus ke rumah sakit. Aku tidak bisa menangani kegilaan mu" semua kalimat yang Naruto pikirkan akhirnya yang terucap kalimat yang menyakiti Hinata.
"Gila? Ya kau benar aku gila! hahaha aku gila" tanpa memperdulikan Hinata dia pergi begitu saja.
Setelah Naruto pergi datang Naomi yang di perintahkan Naruto untuk membersihkan lantai. Naomi datang dengan membawa peralatan kebersihannya. Satu benda yang memancing penglihatan Hinata, serokan yang terbuat dari aluminium. Itu tajam di bagian ujungnya, benda itu sedang di pegang Naomi.
'Maafkan aku' saat Naomi berdiri Hinata menarik kaki Naomi hingga sang korban tersungkur. Hinata yang saat ini berada di kasur lantainya dengan segara merebut serokan itu dengan menyeret tubuhnya.
Melihat Naomi yang ingin bangun Hinata langsung memukul kepalanya. Naomi teriak kesakitan, tidak menyangka bahwa teriakan itu mengundang Naruto datang.
"Jika kau mendekat akan ku lukai dia!" Ancam Hinata dengan memangku kepala Naomi dengan serokan itu yang menempel pada lehernya.
"Kau tidak akan bisa melukainya" ujar Naruto sambil berjalan perlahan-lahan mendekati Hinata.
"Kita lihat saja Nanti bagaimana aku akan menyiksa dia dengan perlahan-lahan"
Hinata menekan pinggiran serokan itu pada leher Naomi. Dalam hati Hinata mengucapkan kalimat maaf berulang kali.
"Hinata!" Bentak Naruto dengan mengambil benda itu secara paksa. Menggendong Hinata keluar dari ruangan itu.
Hinata terus meronta, terus berteriak menolak untuk ikut dengan Naruto ke rumah sakit. Dengan kecepatan di atas rata-rata, Naruto menyetir seperti di kejar-kejar polisi yang terjerat kasus perampokan. Dan benar saja polisi mengikuti Naruto dari belakang bahkan berhasil berada di depannya.
Dengan terpaksa Naruto keluar dari mobil saat polisi mengetuk kaca mobilnya. Menyapa polisi tersebut dan tanpa di suruh, Naruto mengeluarkan segala kartu SIM dan STNK-nya. Polisi itu menatap aneh saat melihat kaca mobil pintu di sisi lain. Suara ketukannya begitu keras dan suara yang meminta di bukakan pintu. Kaca mobil yang gelap membuat dia tidak bisa melihatnya. Naruto yang menyadari hal itu, meminta izin untuk pergi.
"Apakah kau bersama anakmu?" Bukannya membiarkan Naruto pergi dia malah bertanya.
"Bukan, dia istriku"
"Bisakah aku melihatnya?"
"Tidak"
Polisi mulai menatapnya curiga, Naruto bukannya takut dia malah bersikap acuh tak acuh.
"Aku polisi, tanpa izinmu aku akan tetap melihatnya. Bagaimana jika kau penculik? Mengingat saat ini telah terjadi kasus penculikan."
Naruto hanya menghela nafas lelah "kau polisi dan aku suaminya, untuk alasan apa kau lebih berhak melihat istriku?"
"Istri? Kita lihat saja nanti" polisi menghampiri sisi mobil lainnya. Dia berusaha membuka pintu mobil itu, terkunci? Dia langsung menyuruh Naruto membukanya.
"Aneh mengapa kau mengunci istrimu sendiri"
"Lihat saja kau akan mengerti"
Menghiraukan perkataan Naruto dia langsung membuka pintunya. Betapa terkejutnya dia melihat sosok perempuan yang terlihat menyedihkan.
"Mrs.are you okey?"
"Na-nani?" Sepertinya Hinata tidak mengerti apa yang di ucapkan polisi itu. Naruto tersenyum mendengar hal, Hinata tidak akan bisa menjelaskan apapun pada polisi.
"Dia tidak dalam kondisi baik, ada gangguan mental makanya aku terburu-buru dan kami berasal dari Jepang jika kau ingin tahu"
"Gangguan mental? Hmm Nyonya saya polisi anda tidak perlu takut pada saya. Dan apakah kau istrinya?"
Hinata mengangguk takut-takut menjawab hal itu.
"Kau bisa bahasa Jepang?" Tanya Naruto mulai waspada.
"Nyonya nama saya Gaara dan kau?" Menghiraukan pertanyaan Naruto, dia lebih fokus pada perempuan di hadapannya. Mengingatkan kakaknya yang mati bunuh diri karena memiliki trauma yang berat dia juga sangat depresi. Gaara sebisa mungkin bersifat ramah, selama ini dia bersikap dingin dan tidak peduli pada kakaknya yang seperti orang gila dan dia sungguh menyesali hal itu.
"Hi-hinata"
"Tidak usah takut, apa kau ingin permen?" Naruto yang melihat Gaara berusaha akrab dengan istrinya segera menepisnya.
"Maaf kami harus segera pergi" Hinata menggelengkan kepalanya kuat-kuat dan Gaara yang melihat itu merasa aneh. "Dia memang seperti itu, tidak suka di bawa ke rumah sakit jiwa memang siapa yang suka tempat seperti itu" jelas Naruto sebelum polisi itu mulai bertanya lagi.
Gaara pun mengangguk paham, dia pun mempersilahkan Naruto pergi. Tapi dirinya mendengar suara kata tolong yang mirip suara kakaknya saat dia sedang putus asa. Nada itu, dia langsung melihat mobil Naruto yang mulai pergi menjauh.
Dia mengecek sekali lagi surat-surat pria itu. Apakah boleh dia melacak mobil itu dengan plat nomor nya hanya karena urusan pribadi? Nee-san apa yang harus ku lakukan? Ingin rasanya dia bodo amat. Tapi kalimat tolong itu.
TBC
.
.
.
.
.
.
.
.
Selamat mudik....
KAMU SEDANG MEMBACA
harapan #2
Non-Fiction[Naruhina] Yang sudah membaca harapan #1 ini lanjutannya...