Sahabat ku hadir.

878 85 17
                                    


Saat Naruto dan dokter Ryan ingin kembali ke ruangan. Mereka berhenti sesaat di perempatan lorong. Berdiri di balik tembok bersama sang dokter, tangan Naruto selalu ditahan oleh dokter itu saat dirinya mencoba mendekati Hinata yang saat ini sedang menangis. Ia ingin menjadi sandaran Hinata bukan panda merah itu yang mendapatkannya.

"Jika kau merasa sakit atau disakiti. Katakanlah padaku jangan di pendam sendiri." Gaara mengelus rambut Hinata yang saat ini berada di pelukannya.

"Bolehkah?" Tanya Hinata melepaskan pelukan itu.

"Kan kita teman." Gaara tersenyum manis pada Hinata dan dibalas senyuman dan anggukan cepat oleh Hinata. Batin Gaara saat dia melihat Hinata seperti itu dia sangat imut, apalagi saat jejak air mata masih di sana. Terlihat polos dan ia ingin mencubit pipinya.

"Terimakasih." Ujar Hinata dengan mengelap air mata dan ingusnya yang keluar dengan ujung lengan bajunya.

"Pffft.. Lain kali bawalah sapu tangan." Ujar Gaara dengan tawa yang tertahankan.

Gaara melirik pria yang sedang berjalan ke arahnya. Tidak ada tatapan bersahabat, berbeda dengan pria yang di sebelahnya yang tersenyum padanya sambil berjalan.

Ada perasaan kesal saat melihat raut muka suami dari wanita di depannya ini. Ingin sekali dia menghajarnya, tapi saat ia pikirkan lagi, dirinya teringat akan dirinya sendiri. Dirinya juga begitu jahat pada kakaknya, bahkan makian dia sering lontarkan pada kakaknya yang sering mencoba bunuh diri.

"Hinata-sama mau ikut saya ke dalam?" Tanya dokter itu pada Hinata yang sudah mulai bisa diajak berdamai.

"Baiklah." Kursi roda Hinata didorong oleh Ryan untuk masuk ke ruangannya.

"Gaara kembalilah bekerja." Ujar dokter itu sambil menutup pintunya.

Gaara hanya menanggapi dengan senyuman. Senyumannya pun luntur saat Naruto menarik bahunya kasar.

"Cepatlah kau pergi." Sambil mendorong bahu tegap Gaara, Naruto berjalan dengan santai membelakangi Gaara.

Ingin rasanya Gaara menonjok muka rubah pria itu, jika dia tidak ingat apa prosesinya maka habislah pria itu.

Saat ini Naruto telah masuk ke dalam mobilnya. Dia meninggalkan Hinata kali ini, tapi hanya untuk sementara. Dirinya hanya akan bertemu para kolega kurang lebih dua jam pertemuan hanya untuk mencocokan jadwal berikutnya. Dan selanjutnya dia ingin bertemu Kiba membicarakan tentang Uchiha group yang sudah menyetujui proposal pembuatan hotel di California.

Dan setelah itu maka selanjutnya ibunya, mendengar kabar bahwa ibunya telah berangkat ke sini membuat Naruto di runding rasa lelah. Kepalanya sungguh sakit, banyak sekali yang harus di lakukan hari ini, belum lagi tentang Neji.

.
.
.
.
.
.

"Baiklah Hinata-sama selamat beristirahat." Ujar Dokter itu setelah melakukan konsultasi dengan Hinata.

"Terimakasih dok." Hinata yang saat ini sedang berbaring di kamar ruang inapnya sudah tidak memiliki teman untuk dia ajak bicara. Sang dokter telah keluar menutup pintu rapat-rapat dan dirinya dilanda rasa bosan dengan memandang TV yang menyala yang dia sendiri tidak tahu mereka berbicara apa.

Melihat sekeliling kamar, hanya ada tembok bercat putih dengan lukisan yang terpasang bergambar buah. Menatap langit-langit kamar, dia sedang berusaha membayangkan masa lalunya itu. Jika harus mengingat itu akan sulit, lebih baik membayangkan kisah rumah tangga dirinya dengan Naruto pada saat dulu.

"Anak ya." Hinata mengelus perutnya dengan lembut. "Kenapa aku bisa kehilangannya? Jika di pikirkan kembali aku memang memiliki riwayat penyakit. Apa karena itu aku keguguran dan menjadi tidak waras?" Hinata menengok ke kanan dan ke kiri tidak ada yang ingin menjawab pertanyaannya. Jika pun bertanya dia akan sulit untuk percaya dengan omongan orang itu. "Hahh siapa ya kira-kira yang bisa ku percaya."

harapan #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang