11:01 PM
Jam belum melewati angka 12 malam, tapi pikiranku sudah terasa jenuh, mencari hal yang bisa mengusir kecemasanku.
Hal yang paling handal aku lakukan adalah mencemaskan sesuatu,mencemaskan sesuatu yang tidak seharusnya. Hanya mencemaskannya tanpa berusaha mencari solusinya. Sampai rasanya ingin meledak. Sesak.
Perasaan cemas ini lebih berat dari biasanya, entah beban apa yang sedang aku bawa, nyatanya, lebih dari 50 persen semua deadlineku sudah aku kerjakan, diluar tugas akhir tentunya.
Ah, tugas akhir. Kata akhir menuntutku untuk membuat sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Maksimal dan gak abal-abal. Tapi sepertinya aku malah mempersulit diriku sendiri.
Tugas akhir yang tidak maju dari Bab 1 itu terus menghantui, kapan aku memiliki niat lebih untuk mengerjakannya? Siapa yang bisa selain diriku sendiri?
Tuntutan dan gengsi kedua orang tua serasa terus memukul tempurung kepalaku. Kalau aku tak Lulus semester ini aku hanya akan menjadi beban keluarga. Setidaknya aku sudah memiliki niatan untuk membiayai seluruh kebutuhan hidupku sendiri semester depan, tapi tetap saja. Rasa malu dan kecewa pada diri sendiri yang datang lebih awal sudah memadamkan seluruh semangatku untuk menyelesaikannya.Entah.
Pikiranku tentang masa depan apa yang akan aku jalani nantinya masih terlalu buram, aku ingin jadi apa?
Memangnya apa yang aku bisa?
Apakah aku cukup berguna di tengah masyarakat? Dan keluargaku nanti?
Memginjak umur 22 tahun, aku tentunya pernah berandai mengenai siapa pasanganku kelak. Ingin rasanya bisa jatuh cinta, menginstal aplikasi perjodohan, nongkrong di cafe, atau melakukan pendekatan dengan orang baru. Tapi hiruk pikuk pemikiran tentang kelayakan hidup membuatku takut untuk memikirkannya.
Aku sangat ingin. Siapa di dunia ini yang mau sendiri. Tapi logikaku bekerja lebih keras dari biasanya. Belum saatnya, ujarnya ratusan kali.
Yang aku pikirkan, selalu sama, akan jadi apa aku, akan tinggal dan makan apa aku dikemudian hari. Ya, memang seegois itu.
Tapi coba pikirkan, kalau aku belum bisa membiayai diriku sendiri kelak, bagaimana aku bisa membiayai keluargaku nantinya?
Belum lagi kedua orang tua yang merasa masih bertanggung jawab akan anaknya. Padahal mereka sudah mulai pensiun dari pekerjaannya.
Jalan menuju kesana masih terlalu panjang.
Aku tidak ingin menjadi perempuan yang manja, membiarkan kedua orang tuaku menghabiskan tabungannya dan membiarkan siapapun pasanganku nanti untuk bekerja sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Monolog dini hari
Short Storypercakapanku dengan diriku sendiri setiap pagi hari, sebelum tidur