Lima

43.2K 769 4
                                    

Beban di pundak membuat Artha menoleh. Lelaki yang mulanya sibuk dengan laptop di meja ruang tamu apartemen itu langsung memusatkan atensinya. Sejak tiga puluh menit yang lalu, Artha hanya fokus terhadap pekerjaan. Listya ada di sebelahnya atas perintahnya. Duduk diam dengan televisi menyala.

Sekarang, gadis itu tertidur. Kepalanya jatuh di pundak Artha. Kedua matanya tertutup rapat. Helai rambutnya sebagian menutupi wajah.

Artha menyimpan failnya terlebih dahulu sebelum mematikan laptopnya. Tanpa membuat gerakan yang terlalu mengganggu, ia mengatur posisinya dan gadis itu. Ia baringkan tubuhnya di sofa yang lumayan lebar itu dan menggeser tubuh Listya agar berada di dadanya. Gadis itu lekas mencari posisi ternyamannya.

Dalam beberapa detik, Artha hanya diam mengamati. Sorot mata lelaki itu tak bisa diartikan. Telapak tangannya terangkat dan mendarat di kepala Listya guna memberi belaian lembut.

Seharian ini, Listya dibuatnya kelelahan. Gadis itu melayaninya dengan baik. Tidak ada penolakan apa pun. Listya hanya mengeluh bahwa gadis itu lelah, tapi Artha tidak mendengarkannya sampai percintaan mereka yang kelima dalam sehari usai.

Entahlah. Artha merasa sangat tergila-gila terhadap Listya. Bagian sensitif gadis itu membuat pikiran kotornya merajalela. Pada awalnya ia bukan maniak seks. Ia bisa bertahan tanpa memenuhi kebutuhan biologisnya selama berminggu-minggu--kecuali saat ia sedang sangat stres. Namun, dengan Listya ....

"Mmm." Gadis itu menggumam dalam tidurnya. Ia menggeliat pelan mencari posisi ternyamannya.

Artha memeluk tubuh Listya dan mengubah posisi mereka menjadi menyamping. Gadis itu terkurung olehnya dan sandaran sofa. Kepala Listya berada di lekuk lengannya. Ia yakin besok lengannya akan pegal jika terus dalam posisi itu, tapi ia tak begitu memikirkannya.

Artha melihat beberapa bercak di bawah rahang Listya. Di leher ke dada gadis itu makin parah. Artha memang senang meninggalkan banyak tanda. Sebab ketika ia melakukannya, rintihan Listya selalu menjadi kepuasan tersendiri.

Menjatuhkan kecupan di dahi Listya, Artha kemudian memejamkan mata. Ia sudah akan terlelap saat mendengar satu tarikan napas tajam yang memaksa matanya terbuka. Ia menunduk dan menemukan Listya gelisah dalam tidurnya.

"Ayah ... Ayah ... Ayah ...."

Ada titik keringat di dahi Listya. Gadis itu mulai bergerak tak nyaman sementara bibirnya masih melontarkan hal yang sama.

Ada apa dengan ayah Listya? Benak Artha bertanya-tanya.

"Ayah ... Ayah ...."

"Tya." Artha menggenggam dagu Listya. "Bangun."

Listya langsung membuka mata. Sejenak gadis itu tampak kehilangan arah. Bola matanya bergerak liar sebelum kemudian bersiborok dengan mata tajam Artha.

"M-Mas ...."

"Kamu bermimpi buruk."

"A-Ayah ... Ayah!" Listya yang masih kehilangan orientasinya memaksa duduk. Mau tak mau Artha menurunkan kakinya kembali ke lantai. Tanpa aba-aba, Listya berdiri. Hendak menemui Ayah sesuai dengan sugesti pikirannya yang masih dalam pengaruh mimpi. Sayangnya, Artha menarik gadis itu duduk menyamping di pangkuannya.

"Kamu masih di apartemen, Tya." Artha berbisik tepat di telinganya.

"A-apartemen?"

Tapi tadi ia melihat jelas saat polisi membawa ... astaga. Listya melirik Artha yang memangkunya. Lalu pada meja yang dipenuhi dokumen dan sebuah laptop. Juga pada ruang tamu berdinding kuning pucat itu.

Apakah ia bermimpi lagi?

"Apa yang kamu mimpikan?"

"Ayah," jawab Listya spontan. Gadis itu lalu panik. "Astaga. Aku harus pulang."

Artha tak membiarkan Listya beranjak dari pangkuannya.

"Mas, aku harus pulang. Adikku--"

"Kamu akan pulang besok pagi," tegas Artha tanpa mau didebat.

"Ta-tapi--"

"Menurut kamu," Artha meraih dagus gadis itu. Memaksa Listya membalas tatapannya, "kenapa saya repot-repot membeli baju tidur untuk kamu kalau saya akan membiarkan kamu pulang, Tya?"

Ah, ya. Selepas mandi tadi, tiba-tiba saja Artha memberinya sepotong pakaian tidur. Pakaian berbahan tipis dan transparan itu kini melekat di tubuh Listya dan Listya baru saja menyadarinya lagi. Baru menyadari bahwa tubuhnya hampir bisa dibilang telanjang saking transparan baju tidur itu.

"Adikku akan mencariku, Mas," ucap Listya sembari mengalihkan pandangan.

"Maka telepon dia."

Artha berdiri dengan membawa Listya di gendongan kedua lengannya. Listya sempat terkesiap tapi kemudian hanya melingkarkan lengan di leher Artha karena takut jatuh. Lelaki itu membawanya ke kamar.

"Aku lelah, Mas," lirih Listya sebelum Artha menurunkannya di tempat tidur.

Lelaki itu menghentikan langkah di tengah ruang kamar. Ia menunduk dengan senyum miring khasnya.

"Kamu pikir saya akan menyetubuhi kamu lagi, Tya? Kalau memang itu yang kamu ingin--"

"Nggak!" seru Listya tanpa sadar. Melihat tatapan tak suka Artha, ia segera meralat. "Ma-maksudku, tunda dulu. Tubuhku rasanya ... remuk semua."

Artha kembali melangkah dan meletakkan Listya di tempat tidur.

"Saya akan memberi kamu waktu untuk istirahat selama saya mandi."

Listya belum sempat buka suara sebab Artha sudah melangkah lebar menuju kamar mandi. Listya menghela napas. Terkadang ia heran mengapa Artha begitu menyenangi seks. Tidakkah lelaki itu lelah? Tidakkah staminanya berkurang? Tidakkah dia butuh istirahat?

Gadis itu melirik ponsel bututnya di atas meja lantas mengambilnya. Ia melihat beberapa panggilan tak terjawab dari Miki. Pasti sang adik mengkhawatirkannya. Langsung saja Miki ia telepon balik.

"Kak!" seru Miki yang langsung mengangkat telepon. "Kakak ada di mana? Miki pikir Kak Listya kenapa-napa."

"Kakak nggak papa, Miki," ujar Listya perlahan. "Kakak belum bisa pulang. Majikan Kakak ... membutuhkan Kakak sampai besok."

"Malam ini gak pulang lagi?" Ada kekecewaan di nada suara itu.

Listya memejamkan mata penuh sesal. "Maafin Kakak, ya? Besok Kakak pasti pulang."

"Nggak papa, kok! Miki bakalan ngerti. Kakak kan kerja buat Miki."

"Ya udah. Kamu sekarang tidur, gih. Jangan khawatirin Kakak. Kakak gak apa-apa dan akan pulang besok."

"Miki sayang Kak Listya."

Listya tersenyum kecil. "Kakak juga menyayangi kamu."

Sambungan telepon itu dimatikan. Listya meletakkan kembali ponselnya di tempat semula. Ia melihat pintu kamar mandi masih tertutup. Melirik ke tempat tidur yang didudukinya, ia langsung mengantuk. Jadi, ia rebahkan dirinya di sana. Menarik selimut dan memejamkan mata. Tak perlu menunggu lama, alam mimpi segera menyambutnya.

Artha keluar dari kamar mandi dengan wajah segar. Lelaki itu mengencangkan jubah mandinya dan bergerak menuju lemari untuk mengambil celana. Ia hanya memakai sepotong pakaian itu saat naik ke tempat tidur dan melihat Listya sudah kembali terlelap.

Menyingkap selimut, Artha kemudian menempatkan diri di belakang Listya. Ia meraih tubuh gadis itu untuk dipeluknya seperti guling.

Ah, Listya sangat lembut dan terasa pas dalam pelukannya. Artha sudah menahan jemarinya agar tak mulai aktif. Ia hanya menenggelamkan kepalanya di tengkuk Listya yang sangat wangi. Jenis wangi yang membawa ketenangan dalam batinnya.


♡♡♡♡♡



Kamis, 18 April 2019

SLAVE || KaryaKarsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang