Satu

77.4K 1K 7
                                    

[Apartemen, jam 7.]

Listya menyimpan ponselnya di saku seragam setelah membaca pesan dari nomor yang enggan disimpannya tersebut. Ia baru ingat bahwa nanti malam adalah malam Minggu. Malam di mana Listya harus bekerja demi sejumlah uang.

Alasannya cukup klise karena hampir sama dengan kisah dalam novel. Listya harus bekerja karena ia memang butuh uang. Ibunya meninggal dan ayahnya dibui karena dituduh merampok rumah di kompleks perumahan elit. Adiknya masih kelas 1 SMP sementara ia juga masih kelas 3 SMA. Listya sudah berniat untuk berhenti sekolah saja, tapi ia teringat kata ibunya. Bahwa ibunya ingin Listya dan adiknya, sekurang-kurangnya bisa menamatkan pendidikan menengah.

Listya merasa tidak kuat memikul beban. Ia harus sekolah dan bekerja sambilan sebagai kasir pada malam hari di toko yang buka sampai jam 12 malam. Menjadi tulang punggung keluarga, demi sesuap nasi terasa begitu berat. Belum lagi Listya harus membiayai pendidikan Miki, adiknya.

“Listya!”

Listya terperanjat mendengar panggilan itu. Tak sadar bahwa dirinya berjalan sambil melamun. Panggilan itu berasal dari seorang pemuda sebayanya, kelasnya tepat di sebelah kelas Listya.

“Mau ke kantin bareng?”

Listya memperbaiki letak kacamata bundar yang menutupi hampir separuh wajahnya. Ia menggeleng tanda menolak tawaran itu. Mirza adalah pemuda yang populer di sekolah. Ia tampan dan pintar. Akan ada banyak orang yang memusuhi Listya kalau berani dekat-dekat dengan Mirza. Sebab di sekolah, Listya adalah nerd yang keberadaannya terasingkan sedangkan Mirza adalah pangeran yang dipuja banyak orang.

Tapi sepertinya Mirza tidak peduli apapun. Listya tidak tahu apa motif Mirza mendekatinya. Ya, Listya cukup yakin kalau Mirza ada maunya. Tidak mungkin sang pangeran mau berdekatan dengan rakyat jelata tanpa tujuan tertentu, bukan?

“Kenapa gak mau?”

“Aku ada urusan, Za. Duluan ya.”

Listya cepat-cepat kabur dari hadapan Mirza. Sudah dirasakannya tatapan-tatapan menusuk dari berbagai penjuru arah sewaktu tadi Mirza bicara dengannya. Tatapan itu berasal dari fans Mirza yang sangat fanatik dan merasa bahwa Mirza milik mereka.

Di dalam kelas, bangku Listya adalah bangku di pojok paling depan. Listya duduk sendirian. Ia punya pengalaman yang cukup buruk duduk di belakang karena dulu teman-temannya sering mengganggu, maka dari itu semenjak naik ke kelas 2, Listya selalu duduk di depan.

Listya tidak punya banyak teman, atau lebih tepatnya tidak punya teman dekat. Mungkin mereka menganggap bahwa nerd adalah makhluk astral yang seharusnya tidak berada di muka bumi. Maka dari itu mereka semua menjauhi Listya. Meski begitu, Listya merasa baik-baik saja. Asal tak ada yang mengganggu, Listya tak keberatan menjadi penyendiri di sekolah.

Sepulang sekolah, Listya masih diharuskan untuk mengikuti les sebagai persiapan ujian nasional. Program les usai sekolah itu, diadakan oleh sekolah sendiri. Memang program rutin tiap menjelang ujian nasional. Jadi Listya baru pulang jam lima sore.

Setibanya di rumah, Listya tidak memiliki banyak waktu. Ia memasak seadanya untuk makan malam Miki.

“Kakak mau pergi lagi?” tanya Miki.

Listya mengangguk, “Jangan lupa kunci semua pintu sama jendela ya, Dek. Kakak pulang pagi.”

Miki mengangguk, “Kakak kerja apa sih? Bukannya malam Minggu, Kakak libur kerja di toko?”

Listya tahu pasti Miki butuh banyak penjelasan mengapa setiap malam Minggu ia tak pernah tidur di rumah sementara kerjanya di toko libur pada malam tersebut. Listya hampir tak memiliki banyak waktu untuk Miki. Di malam Minggu, ia harus mengerjakan hal lain. Sementara di malam lainnya, ia menjadi kasir. Waktu untuk mereka bersama hanya di hari Minggu. Sebenarnya Listya ingin sekali menghabiskan lebih banyak waktu dengan adiknya. Miki pasti merasa kesepian.

Penjelasan seperti apa yang harus ia berikan kepada Miki?

Miki masih menunggu jawaban kakaknya. Ia penasaran mengapa di waktu libur bekerja di toko, Listya masih harus pergi. Sebenarnya apa pekerjaan Listya di malam Minggu? Miki tahu Listya bekerja untuk hidup mereka. Karena itu Miki juga ingin tahu kakaknya bekerja sebagai apa, mungkin ia bisa membantunya.

“Kakak ... Kakak bersihin apartemen orang. Orangnya ada cuma malam Minggu.” Listya tersenyum gugup, “Kakak berangkat dulu ya? Jangan tidur malam-malam.”

“Hati-hati, Kak.”

Listya mengembuskan napas beratnya. Ia harap, perkataannya tadi cukup logis untuk bisa diterima oleh Miki. Ia hanya tak mau adiknya membencinya. Ia tak mau Miki tahu pekerjaan macam apa yang dilakoninya pada malam Minggu.

Dengan menaiki bis yang beroperasi pada malam hari, Listya tiba di gedung tinggi yang selalu sukses membuatnya terintimidasi. Ia masuk ke dalam gedung tersebut dan melangkah menuju lift. Jam 7 kurang lima menit, ia tiba di depan pintu apartemen yang ditujunya. Listya meremas kedua tangannya gugup. Padahal, ini bukan pertama kalinya ia mendatangi apartemen itu sesuai dengan permintaan si empunya apartemen. Kali pertama justru sangat mengerikan.

Listya memiliki kunci duplikat yang diberikan sendiri oleh pemilik apartemen tersebut. Ia menggunakan benda itu untuk membuka pintu lalu masuk tanpa menimbulkan suara. Berjalan beberapa langkah, Listya kini berada di ruang tamu yang lengang. Pintu kamar tertutup rapat. Sebuah jas yang tergeletak sembarangan di atas sofa membuat Listya tahu bahwa majikannya sudah berada di sana.

Terkadang Listya ingin majikannya tersebut mendadak memiliki urusan yang sangat penting di malam Minggu agar mereka tak usah bertemu. Tapi tidak pernah. Sejak Listya setuju untuk bekerja dengannya, lelaki itu selalu memiliki waktu kosong di malam Minggu. Bahkan tak jarang hari Minggu yang seharusnya Listya habiskan bersama Miki, harus Listya berikan padanya.

Listya mengambil jas berbahan khusus yang harganya pasti mahal itu. Ia melipatnya dan menyampirkannya di punggung sofa.

“Sudah makan?”

Listya terkejut. Ia menoleh dan mengangguk gugup. Lelaki itu, majikannya, tampaknya baru selesai mandi. Ia masih bertelanjang dada dengan rambut yang setengah basah. Listya buru-buru mengalihkan pandangannya.

“Saya lapar. Tadi saya membeli beberapa bahan makanan. Kamu bisa memasak kan?”

Listya mengangguk lagi. Ia melangkah menuju dapur, otomatis melalui sang majikan. Selangkah melewati lelaki itu, Listya merasakan tangannya ditarik hingga ia jatuh ke dada bidang yang membuatnya menelan ludah gusar. Telapak tangan yang dingin, menangkup pipi kanannya.

“Kamu sakit?”

Listya menggeleng, “Nggak.”

“Saya gak mau kamu sakit saat bertemu dengan saya.”

Listya mengangguk paham. Dagunya diangkat oleh lelaki itu. Membuat Listya mau tak mau membalas tatapan dari bola mata berwarna hitam yang memandangnya intens. Lelaki itu kemudian mengambil kacamata besar yang menutupi separuh wajahnya. Bola mata Listya bergerak ke segala arah, gelisah.

“Sepertinya saya lebih lapar dengan hal lain, Tya,” bisik lelaki itu serak.

♡♡♡♡♡



Selasa, 19 Maret 2019

SLAVE || KaryaKarsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang