Tujuh

27.9K 809 31
                                    

Malam Minggu itu Listya tidak datang ke apartemen Artha. Miki sedang sakit dan ponsel bututnya hilang selepas malam di mana Artha begitu marah padanya. Setelah malam itu, Listya tak punya ponsel untuk berkomunikasi. Setelah malam itu pula, ia menghindar sebisa mungkin dari Mirza. Ia tahu posisinya. Berteman dengan orang terhormat seperti adik Artha, adalah suatu kemustahilan.

"Ibu ... Ibu ... Ibu...."

Miki memang terus mengigau sejak bisa tidur tadi. Badan adiknya panas, namun sudah lumayan turun sejak Listya mengompresnya. Listya membuatkan Miki bubur yang hanya bisa adiknya makan beberapa sendok saja. Untunglah Miki bisa menelan obat yang mereka dapatkan dari dokter. Listya memang sudah membawa Miki ke puskesmas tadi.

Sementara Listya merawat Miki, Artha yang menunggu hingga larut merasa marah. Ke mana Listya? Mengapa ponselnya tak aktif? Mengapa gadis itu tak datang sesuai kesepakatan? Apakah Listya berniat menipunya?

Bantingan ponsel yang langsung pecah layarnya karena membentur dinding itu menjadi pelampiasan Artha. Belakangan ia selalu memantau Listya, berjaga-jaga agar Listya tak mengambil keuntungan dari Mirza. Ia tahu Listya masuk sekolah seperti biasa dan bekerja di toko pada malam harinya. Tapi mengapa malam ini Listya tak datang? Jika Listya tak berniat menipunya, gadis itu pasti akan datang. Atau jika tidak, Listya setidaknya memberi kabar. Bukannya menonaktifkan ponselnya.

Jika dugaan Artha benar bahwa Listya berniat buruk, ia berjanji akan menarik semua biaya yang dikeluarkannya untuk sekolah adik Listya.

Artha pulang ke rumah dengan uring-uringan. Karena tibanya larut, rumah besar keluarganya sudah gelap. Artha memasuki kamarnya yang juga temaram karena hanya lampu nakas yang menyala. Mendapati Lify di tempat tidur, membuat Artha membuang napas kasar. Ia menghidupkan lampu kamar kemudian menghampiri tempat tidur.

"Lify, pindah!" dibangunkannya Lify dengan mengguncang pundaknya.

"Artha?" perempuan itu terbangun, "Kamu sudah pulang?"

"Pindah ke kamar kamu sekarang juga." perintah Artha tegas.

"Aku nunggu kamu dari tadi. Kamu batalin makan malam kita gitu aja. Kamu dari mana?"

Karena Lify tak juga memenuhi perintahnya, Artha yang belum reda amarahnya langsung naik darah. Ia menarik Lify secara paksa agar turun dari tempat tidurnya.

"Artha! Apa-apaan sih kamu?"

"Sudah kubilang aku tidak suka kamu memasuki wilayah pribadiku. Keluar dari sini."

"Aku cuma-"

"Keluar, Lify!!" bentak Artha yang membuat Lify memandangnya tak percaya lalu keluar dari kamarnya.

Artha menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Malam ini ia harus tidur agar besok bisa bekerja dengan tenang. Menghadapi tingkah Lify yang memuakkan juga akan membutuhkan kesabaran ekstra. Ia tak berniat menikahi Lify, orangtua Lify yang ingin ia menikahi perempuan itu. Artha yang memang tidak mau bersusah payah mendebat, mengiyakan begitu saja.

Paginya, sebelum berangkat kerja Artha harus mengantar Lify pulang.

"Apa ini?" Lify mengambil sesuatu yang mengganjal highheels-nya. "Ponsel jadul? Ini punya kamu?"

Artha memandang benda berwarna hitam di tangan Lify dan merebutnya, "Ya."

"Untuk apa kamu menyimpan benda murah itu, Artha?"

"Bukan urusan kamu." balas Artha dingin. "Sebaiknya kamu diam atau aku akan melemparmu di jalan."

"Kamu galak sekali."

Artha tidak menjawab. Pun membiarkan ketika Lify memeluk lengannya dan menyandarkan kepala di pundaknya. Setelah mengantar Lify, Artha berangkat kerja. Berkali-kali ia melirik jam dan menunggu waktu untuk pulang. Begitu tahu mengapa ponsel Listya tak aktif, ia berniat mendatangi gadis itu.

SLAVE || KaryaKarsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang