Where

205 37 0
                                    

"Wow." Jisung berbisik, suaranya nyaris tak terdengar.

Ungkapan Jisung bahkan bukan sebuah kalimat yang koheren tapi Felix setuju. Kawasan pejalan kaki di sepanjang Sungai Dotonbori seperti sebuah oasis di antara kota metropolitan Osaka. Matahari telah tenggelam di penghujung cakrawala, tapi semua bangunan nampak terang seperti sekumpulan bintang baja. Air sungai berkilau seperti sekumpulan perak yang dilemparkan manusia ke dalam sumur permohonan.

Secara naluri jemari Felix mencari milik Jisung dan menautkannya. Jisung benar. Wow.

"Mungkin jika sungai Han secantik ini, Osaka tidak akan masuk kedalam bucket list-ku," kata Jisung. Felix tahu dia hanya setengah bercanda.

"Kupikir kau akan datang apapun yang terjadi. Kau menghabiskan simpanan kita selama setahun untuk sehari," Felix mencoba memelototi Jisung yang berakhir dengan kegagalan memalukan.

Jisung mengangkat bahu dengan jenaka, "ini setimpal."

Felix mendengus, "barbeque tadi tidak setimpal."

"Kau akan berterimakasih padaku nanti. Kita tidak pernah bisa mengadakan barbeque saat di Seoul."

"Not your best logic, but alright."

"Hey," Jisung mencubit hidung Felix. "Kau juga membutuhkan ini. Aku harus membawamu keluar dari Seoul, at least for a little bit."

"Seoul punya segala hal yang kubutuhkan," Felix berkata dengan nada monoton.

"Kau tidak pernah mencoba sushi sebelumnya," Jisung terdengar sangat tersinggung. "Bagaimana hal itu mungkin?"

"Sushi tidak seenak itu," Felix bergumam. (Itu bohong, sushi yang mereka makan kemarin adalah salah satu makanan terenak yang ia makan selama bertahun-tahun.)

Jisung terdiam, matanya menatap langit. Cahaya bulan menerangi figurnya, membuat sosoknya terasa sureal. Tanpa sadar Felix mengangkat kameranya, mencoba menangkap momen menakjubkan itu.

Mereka seharusnya hanya tinggal selama lima hari, tetapi entah bagaimana kunjungan ini berakhir selama seminggu. Jisung enggan pulang, dan dimanapun Jisung berada Felix akan berada disampingnya. Ia bahkan tidak keberatan bila bosnya berteriak-teriak karena ia dengan seenaknya memperpanjang waktu cuti. Ia belum pernah melihat Jisung sebahagia ini selama berbulan-bulan. Osaka adalah angin segar yang mereka butuhkan.

"Setidaknya kemampuan bahasa Jepangmu cukup berguna," kata Jisung setelah beberapa saat. "And to think that you said that class was useless."

Saat ini Felix tidak bisa mendebat Jisung. Keterampilan daily conversation-nya yang terbatas telah menyelamatkan mereka selama beberapa hari terakhir. "Kau benar," ia mengakui dengan mudah.

"Aku selalu benar," kata Jisung puas. "Akui saja, Osaka adalah ide yang bagus."

Felix tersenyum, mengamati pasangan-pasangan yang berjalan disekitar sungai, suara gaduh mobil, dan suara musik yang menggelegar di oasis kecil kota ini. Ia menoleh kesamping dan mengamati mata Jisung yang berkilau.

"Aku tahu," bisik Felix.








TBC

Agape | Jilix ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang