IV

2.4K 245 8
                                    

Hinata memegang beberapa helai rambut yang rontok parah. Ini semua karena kemoterapi yang dijalaninya. Tanpa berpikir panjang, ia langsung mengenakan topi wol khas musim dingin berwarna salem yang baru dibuatkan ibunya. Menyembunyikan kebotakan yang tak dapat dipungkiri. Dia tidak ingin penampilannya terlihat buruk meski itu hal yang wajar.


Tadi Sasuke menjelaskan hasil labnya kepada Hikari lewat sambungan telepon. Sasuke pun memberitahu Hinata jika gadis itu masih harus melakukan terapi karena leukemia yang kembali menyerang termasuk ganas. Sasuke sendiri mengatakan bahwa ajakan kemarin harus ditunda dahulu. Tak mungkin untuk tubuh Hinata yang sekarang. Walau sudah lumayan berbaikan, Hinata tetap dapat melihat raut kecewa dari Sasuke. Ini pasti membuatnya naik pitam.

Selain hal buruk, Hinata juga jadi sedikit bahagia ketika bertemu Masayuki yang dahulu merawatnya. Dokter perempuan yang bergelar spesialis penyakit dalam—sama seperti Sasuke—itu telah berusia 48 tahun sekarang. Dokter yang disangka bakal jadi perawan tua itu bahkan telah memiliki dua anak. Ia juga masih bekerja di Rumah Sakit Internasional Chuo sebagai kepala medis penanganan kanker anak. Wajah wanita itu masih sama cantiknya, hanya dibubuhi sedikit kerutan di pinggir mata.

"Aku ingin melihat anak Masayuki-sensei," gumam Hinata sembari menonton acara TV sorenya. Ia berniat untuk memperbaiki mood yang dari kemarin cenderung buruk.

"Hinata?" Suara familiar di telinga Hinata menyapanya. Orang kurang ajar yang tiba-tiba masuk tanpa mengetuk pintu. Juga kebetulan salah satu penyebab kambuhnya penyakit Hinata.

Itu Naruto. Orang yang dengan sadar telah menyakitinya. Sangat dalam sampai tak berasa lagi.

"Untuk apa kesini?" Hinata gelabakan. Siapa yang memberitahukan pada si pirang keberadaannya saat ini? Mengapa saat dia butuh ketenangan, malah Naruto yang datang?

"Kau sakit apa?" Naruto bertanya sembari berjalan mendekat. Berusaha untuk meraih sang adinda.

"Permisi! Kau tak apa, Hinata?!"

Belum sampai tangan Naruto menggapai Hinata, mereka berdua sudah dikejutkan dengan kedatangan Sasuke yang tiba-tiba membanting pintu karena Hinata menekan bel darurat. Terlihat wajah khawatir di wajah pahatan Tuhan yang indah itu.

"Apa keluhanmu? Apa ada yang sakit?" Kini giliran Sasuke yang panik luar biasa. Napasnya masih tidak beraturan. Sepertinya Sasuke habis berlari. Pria jangkung itu sibuk melihat alat perekam jantung Hinata yang menunjukkan tanda normal.

"Aku hanya tidak mau dia berada di sini," iris mata Hinata mengarah kepada Naruto. Ini langsung membuat Sasuke berbalik dan menatap dingin pada pemuda kuning.

"Silakan keluar."

"Tapi, aku ingin membicarakan hubung—"

"Anda tidak dengar? Hinata tidak suka dengan keberadaan Anda!" Sasuke berteriak geram. Persetan dengan adab dan aturan dalam nada suara, dia tidak ingin ada seseorang yang menggangu pasiennya, terlebih Hinata.

"Baiklah, tapi kita tetap harus menyelesaikan ini baik-baik, Hinata."

Tatapan biru lautan itu nyalang menohok langsung. Napas Hinata dibuatnya tercekat. Sebelum Naruto pergi, ia membuang wajah tepat setelah melempar tatap kepada Sasuke.

"Kau tidak apa-apa?" Sasuke bertanya lembut kepada Hinata. Tangannya memegang erat pinggiran kasur. Entah mengapa wajahnya berubah menjadi lebih lembut sore ini. Tidak seperti beberapa waktu tadi yang tertekuk rapi.

Hinata menggeleng. Dia tersenyum bahagia seakan telah diselamatkan dari Godzilla. Sasuke berasa jadi superhero dibuatnya.

"Terimakasih, Sasuke-kun," tutur Hinata sembari menyebut panggilan keramat itu. Sekujur tubuh Sasuke langsung merinding, lama sekali namanya tidak dihadiahi -kun begitu.

THE FALLEN ANGELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang