II

3K 287 6
                                    

Papan nama dokter bertuliskan dr. Uchiha Sasuke Sp.PD-KHOM ditempatkan di sebuah ruangan besar berisi dokumen-dokumen yang tersusun rapi serta meja-meja lain. Pemilik papan nama itu, Sasuke baru saja pindah ke Rumah Sakit Internasional Chuo. Dia baru kembali lagi ke Jepang setelah belajar serta bekerja di Amerika. Kini ia telah menjadi dokter spesialis kanker atau biasa disebut onkologi.

Ruangan dokter spesialis penyakit dalam itu masih sepi. Sepertinya para dokter jaga sedang sibuk dengan urusannya masing-masing. Ini juga kesalahan Sasuke yang datang kesiangan. Dia pantas dimarahi.

Tangannya sibuk membereskan meja, memilah-milah buku mana yang masih harus ia pelajari. Kemudian gerakan itu terhenti. Pandangannya menatap tajam ke buku tebal tentang leukemia. Badan pria tinggi itu masih di sana, namun pikirannya sudah melanglang buana. Apalagi kalau bukan ke Hinata. Dengan surai biru gelap dan mata indah itu, siapa yang dapat melupakannya?

Setelah puas dengan reuni masa lalu, Sasuke akhirnya memutuskan untuk berjalan keluar dari ruangan dokter. Dia ingin bertemu para pasien dan menyapa mereka. Sasuke mendapat tugas untuk berjaga dari pagi sampai sore hari. Dia juga bertanggung jawab atas beberapa pasien kanker, sehingga setiap pagi ia akan berkeliling bangsal.

Belum saja kakinya menapaki lantai satu rumah sakit, sebuah brankar dengan seorang pasien perempuan serta beberapa perawat di dorong masuk menuju UGD. Seketika Sasuke berlari pula kesana. Setahunya, dokter jaga departemen penyakit dalam hari ini adalah Sakura dan seorang anak magang yang kata seorang perawat terjebak macet. Dia harus ke sana untuk menolong nyawa seorang manusia.

"Sensei!"

"Bagaimana tekanan darahnya?" Sasuke memeriksa mata pasien tersebut yang masih tidak sadarkan diri. Sedang seorang dokter muda yang bertugas jaga sibuk mengatur monitor agar stabil.

Perempuan berambut gelap dengan pupil yang indah. Sasuke mengingat sesuatu dan seketika dunianya berputar-putar.

"Tekanan darahnya 80/50, sensei."

"Kanker itu menyakitkan," Hinata mengatakan itu sambil memeluk tubuhnya dengan kedua tangan. Wajahnya yang gembul itu sama sekali tidak memperlihatkan bahwa sang empunya pengidap kanker.

"Seberapa sakitnya?" Tanyaku dengan nada khawatir. Sejujurnya aku kasihan pada Hinata. Di umur sekecil itu sudah harus melawan dirinya sendiri. Tapi melihat tatapan dan semangatnya, aku jadi dapat mengetahui bahwa Hinata memerlukan dukungan, bukan sekadar kasihan.

"Sakiiiit banget!"

"Kalau begitu, aku ingin jadi dokter saja!" Seruku setelah berpikir sejenak.

"He? Kenapa?" Hinata bingung. Wajahnya kikuk seperti orang bodoh. Aku tertawa sedikit sebelum menjawab dengan sok keren.

"Karena aku ingin menyelamatkanmu dari kanker!"

"He? Benarkah?!" Ku lihat ada setetes air mata yang keluar dari matanya. Dia menangis tapi tetap tersenyum. Jantungku terpacu. Aku ingin sekali membuatmu tersenyum dan berterimakasih padaku. Lalu yang keluar hanyalah anggukan dariku.

"Kalau begitu, tolong selamatkan aku, Sasuke-kun!"

Sepanjang di ruang UGD yang dingin dan mencekam, pikiran Sasuke terpecah. Di satu sisi dia harus membuat pasiennya sadar, namun di sisi lain pasiennya itu mengingatkannya pada Hinata. Ini rumit. Sasuke kian bingung. Dia benci Hinata karena tidak menepati janji mereka, tapi juga merindukannya. Dia seperti dipermainkan kebodohan sendiri. Meski Sasuke tidak menyukai orang yang melanggar janji, tapi seharusnya dia bisa memaklumi. Namun, tetap saja ada rasa terbakar begitu mengingat kerjadian lalu. Bisa saja kebenciannya itu hanya sekadar rasa yang timbul karena dia terlalu egois. Ya, siapa yang tahu?

THE FALLEN ANGELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang