1. Sexless Marriage

367K 13.1K 930
                                    

Tidak banyak yang suka bangun pagi di akhir pekan, apalagi setelah kerja Senin sampai Jumat dari pagi hingga menjelang malam. Aku sebetulnya tidak mau repot-repot bangun terlalu pagi, kalau saja tadi tidak dapat telepon dari sahabatku, Kia, yang cerita sambil emosi mengenai keinginannya untuk bercerai dari suami perkara mertua yang terlampau ikut campur. Sambil mengantuk, aku mendengar keresahannya. Lalu di sinilah aku, dapur, memasak sarapan untuk dua orang sambil mendengar suara ibu yang terhubung lewat telepon.

"Masak apa hari ini, Nduk?"

"Ayam goreng mentega kesukaan aku."

"Loh loh loh, ora kemarin, dua hari lalu dan minggu lalu juga masak itu?"

"Habis aku lagi suka-sukanya makan kecap," balasku kencang untuk mengalahkan suara percikan minyak.

"Suamimu nggak bosan apa?"

"Mas Andra suka-suka aja kok, Bu. Malah seneng katanya."

"Oalah, bagus Nak Andra suka. Kalau Ayah kamu pasti ngambek makan masakan yang sama."

Aku mengeluarkan suara cengengesan seadanya sembari memasukkan irisan bawang bombay dan kecap inggris ke dalam wajan.

"Mas Andra mana bisa ngambek sama aku."

Tawa Ibu terdengar, "Anin harus sering-sering bersyukur punya suami seperti Nak Andra. Dia baik, cakep, pinter dan sayang sama Anin."

"Iya, Ibuuu. Mas Andra juga harus bersyukur punya istri cantik, penyabar dan solehah kayak Anin."

"Kamu tuh, Nduk, ada aja jawabnya."

"Hehehe," lagi-lagi aku cuma cengengesan.

Akhir-akhir ini, ibu lumayan sering menelpon. Biasanya dia hanya memastikan kabarku dan suamiku lewat aplikasi whatsapp, lalu tidak ada percakapan lain setelahnya. Ibu pendiam dan kurang suka mengobrol, apalagi obrolanku dengan Ibu biasanya tidak sefrekuensi.

Dan hari ini Ibu menelpon, aku sudah menduga percakapannya ini akan berlabu ke mana.

"Datang bulan kamu belum telat juga, Nduk?"

Aku menggeleng meskipun Ibu tidak akan melihat itu.

"Belum, Ibu."

Hening agak lama.

"Kamu enggak periksa ke dokter? Kalian sudah dua tahun lebih menikah loh tapi ..." ibu memotong kalimatnya, terdengar sekali dia begitu hati-hati saat mengucapkannya.

"Mas Andra kan dokter, Bu," balasku dengan nada bercanda, agar percakapan kami tidak berakhir setegang perasaanku.

"Ke Dokter kandungan, Aniiin." Ibu berkata gemas yang berhasil membuatku tertawa. "Ayahmu sudah nggak sabar mau menimang cucu dari anak perempuannya."

"Doakan Anin dan Mas Andra segera dikasih rezeki anak ya, Bu..."

"Pasti, Nduk." Ibu berkata sungguh-sungguh, membuat beban tak kasat mata yang kupikul terasa semakin berat. Aku tahu tanpa diminta pun, ibu pasti selalu mendoakan kami.

Setelahnya, perempuan bersuara halus itu mengakhiri sambungan telepon di mana aku langsung menghela napas panjang.

Dua tahun tiga bulan menikah dengan Daviandra Pradrestha, hingga detik ini, tidak sekalipun aku memberi kabar mengenai haidku yang telat atau adanya dua titik merah di testpack, sebuah kabar bahagia yang menjadi target baru setelah menikah.

Ibu tidak pernah semenuntut ini sebelumnya. Ah, bahkan sampai sekarang, ibu juga tidak terlalu menuntut sebetulnya. Aku paham ibu mulai tertekan, saudara-saudara ibu atau ayah terus mendesak hal itu. Apalagi sejak sepupuku yang baru menikah dua bulan lalu memberi kabar tengah mengandung anak pertamanya di grup whatsapp keluarga besar yang notifikasinya selalu kumatikan. Lalu setelahnya, orang-orang mulai bertanya-tanya,

Xless MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang