Wattpad Original
Ada 8 bab gratis lagi

2 | Rumah, Tempat Kedamaian

32.9K 3.4K 120
                                    

1 Mei 2019

Ojek online yang kunaiki melesat jauh menuju ujung Kota Malang. Sebenarnya aku sendiri buta arah, tidak bisa membedakan mana barat, timur, utara, maupun selatan. Yang bisa kukatakan adalah rumahku berada di sebelah timur (dan jika kupikir-pikir kembali, rumahku berada di ujung utara Kota Malang) Terminal Arjosari, di salah satu kawasan perumahan elite. Namun, rumahku termasuk sederhana dibanding bangunan-bangunan megah di sini. Uang pensiunan kakek dan nenek hanya bisa digunakan untuk membayar seorang asisten rumah tangga yang untungnya baik hati dan penyabar, sedangkan uang peninggalan kedua orang tuaku digunakan untuk keperluan mendesak jika sesuatu menimpa keluarga kami.

Ditemani semilir angin sore, pikiranku kembali melayang ke masa lalu. Ada ingatan samar yang berseliweran di pandanganku. Entah kenapa, aku tidak bisa mengingat dengan jelas tentang kejadian yang merenggut nyawa kedua orang tuaku. Yang aku ingat adalah suara klakson kereta api, tangan yang menggenggam erat balon warna-warni, dan sirine ambulance. Aku pingsan saat kejadian itu. Darah bercucuran dari pelipis dan ketika aku bangun, nenek beserta kakek terlihat menyembunyikan wajah mereka di balik telapak tangan mereka. Beberapa menit berlalu dan seorang dokter keluar dari ruang operasi sembari menggelengkan kepalanya dengan raut menyesal.

Aku yang masih berusia tujuh tahun kala itu hanya mampu menangis dan mengutuk. Aku masih belum tahu apa-apa dan kedua orang tuaku meninggalkanku tanpa pamit. Sedih rasanya.

Mataku menangkap semburat jingga yang timbul karena matahari sudah hampir terlelap. Ada garis keunguan yang melintas di antara jingga tersebut. Terlalu mengagumi ciptaan Yang Kuasa, tahu-tahu aku sudah berada di depan rumah. Aku turun dengan perlahan, menyerahkan helm sekaligus ongkos ojek online dan tak lupa mengucapkan terima kasih. Setelahnya, aku membuka gerbang rumah yang dikunci. Dengan mudah aku mengambil kunci gerbang yang berada di tempat rahasia.

"Aku pulang," ujarku begitu memasuki pekarangan rumah yang ditumbuhi oleh tanaman hijau dengan beratus kelopak bunga. Dengan cekatan aku melepas sepatu beserta kaus kaki. Tak lama, terdengar suara pintu terbuka. Itulah nenek yang selalu menyambut kedatanganku. Setelah meletakkan sepatu di raknya, aku mencium tangan nenekku dan memberikan tas plastik yang berisi lauk kepada beliau.

"Sudah hampir malam, Nduk. Cepat mandi terus makan ya," kata nenek sembari mengelus pelan kepalaku yang sedikit menunduk. Aku memang lebih tinggi daripada nenek.

"Aku sudah makan tadi, Nek. Lauknya buat Nenek sama Kakek saja. Tapi jangan lupa dihangatkan dulu, belinya sudah agak lama tadi. Takut sudah dingin," jawabku disertai senyuman simpul.

Aku berjalan di belakang nenek dan menutup pintu rumah. Terasa sangat sepi karena asisten rumah tangga sudah disuruh pulang oleh nenek setiap pukul empat sore. Tak mau menikmati keheningan ini lebih lama, aku melangkahkan kaki menuju kamar kakek. Memang sudah menjadi kebiasaanku untuk mendatangi kakek dan menunjukkan bahwa putu-nya (cucu) ini sampai di rumah dengan selamat. Oh, sebelumnya aku telah meletakkan tasku di meja setrika yang berada di dekat kamar kakek. Saat kubuka pintunya, kakek ternyata tengah memegang dua lembar kertas sembari melihat televisi. Aku beringsut mendekati kakek yang tersenyum ke arahku. Aku meraih tangannya dan menciumnya.

"Hai, Kek. Sedang apa?" tanyaku seraya duduk di kursi yang berada di sebelah ranjang kakek. Aku menyandarkan punggung di kursi yang empuk itu. Rasanya tubuhku pegal setelah terlalu lama duduk miring di atas sepeda motor.

"Sedang membaca penemuan baru mengenai Majapahit," jawab kakek seraya tersenyum lebar.

Aku turut tersenyum mendengarnya. Kesehatan kakek memang buruk saat ini, tetapi mendengar penemuan terbaru Majapahit rupanya dapat mengembalikan semangat kakek yang memang tergila-gila pada sejarah. Setiap hari kakek membicarakan tentang sejarah kepadaku. Sebagai cucu yang baik, aku mendengarkan dan menimpali pembicaraan kakek meski apa yang kami bicarakan akan dengan mudah aku lupakan. Kakek terkadang mengajakku berbicara dalam bahasa Jawa Kuno, membuatku mungkin menjadi satu-satunya remaja yang menguasai bahasa tersebut. Sebenarnya, sarafku sedikit terjepit saat kecelakaan beberapa tahun silam yang merenggut nyawa kedua orang tuaku. Itulah mengapa ingatanku cukup buruk dan aku mudah lupa.

[Majapahit] Forgive Me For Leaving YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang