05 : Gedongan

57 19 2
                                    


Ig : rizka_fraja

***

Gerimis mengguyur sore itu. Langit gelap tak bergelegar. Aku sedang mempersiapkan acara tahunan sekolah. Panitia peralatan mulai beringsut dari lapangan. Keringat bercampur hawa dingin menyelimuti tubuh yang lelah. Aku bersandar pada dinding di depan UKS. Panitia yang lain ikut berkumpul dengan memeluk lutut masing-masing. Cemas dirasa saat kutatap langit yang makin berderai lebat namun sore hampir habis. Anginnya kala itu menyelusup, bermain pada tubuh yang hampir menggigil. Rasanya menusuk telinga yang membuatku geli.

Adi bercerita, aku pasang telinga. Mataku menatap ke depan, karena lelah melihat Adi yang tidak bisa diam dengan tubuh gempalnya. Sebelum cerita dimulai, aku sempat melihat wajah kawan yang lain. Rata-rata dari mereka terlihat antusias, namun ada pula yang memampang raut flat dan kaku bercampur lemas bak orang cacingan yang membuatku tersenyum geli.

Kira-kira begini ceritanya waktu itu.

Kilas balik Adi ....

Sore itu, aku memacu motor dengan normal hendak menyambangi kawan di kampung sebelah. Tampak semburat jingga beserta burung-burung kicau yang menemani. Sekarang jalanan kampung A (disamarkan) sudah dicor. Dulu sekali masih tanah yang bergerinjulan, alhasil licin yang didapat bila musim penghujan. Jarak rumahku dengan Lukman-temanku-cukup menguras waktu walau tidak berhari-hari lamanya. Tigapuluh menit kemudian motor bebek kesayangan bapak sudah terparkir mulus di pekarangan rumah Lukman. Setelah mengetuk pintu, aku dipersilahkan masuk ke dalam rumah. Kediaman Lukman tidak besar, namun begitu nyaman dan asri bila dipandang. Berlama-lama di rumah Lukman membuatku senang.

Adzan maghrib berkumandang merdu. Aku masih di rumah Lukman mengerjakan penelitian IPA yang malah berbelok pada permainan gitar yang berpadu dengan suara emasku. Ya, niat awalku berkunjung ke rumah Lukman yaitu mengerjakan tugas-tugas yang menggunung bersama-ralat, menjiplak hasil kerja Lukman, sekaligus mengantarkan pesanan kue Ibunya yang dibeli dari Ibuku. Sebagai anak SMA yang baik dan sudah di ujung pembelajaran, wajib rasanya mengerjakan tugas yang diperintahkan dan berbaik-baik ria pada guru.

Tanpa sungkan, aku makan malam bersama dengan keluarga Lukman. Bukan sekali dua kali aku begini, kami begitu akrab hingga aku memanggil orang tua Lukman layaknya orang tuaku sendiri. Kami berbincang-bincang mengenai bagaimana sekolahku, yang aku jawab, "Baik, kalo gak ada Lukman," dan pertanya lainnya yang pasti jawaban tersebut menjurus pada Lukman dengan tujuan bergurau. Lukman mengerang sambil melotot ke arahku. Alhasil kami beradu mulut yang ditengahi Ibu. Bapak Lukman cekikikan manja. Dia berucap, "Dasar anak muda," sambil geleng-geleng kepala. Jelas betul gelagatnya tak ada niatan membantu Ibu yang mulai kewalahan.

"Mengaku aja lah, Lukman. Kemarin kamu boncengan sama Tuti, kan?" tanyaku sambil mengerling pada Lukman. Orang tua Lukman ini masih muda tapi pikirannya kolot (semoga bapak dan ibu Lukman tidak membaca ini) Bagaimana tidak, bujangan mereka dilarang punya pacar. Cukup logis bila alasannya tidak diperbolehkan agama. Tapi yang ini alasannya takut jadi bahan gosip tetangga.

Karena ulahku, Lukman yang gondok mencoba membenamkan kekesalannya dengan meneguk air bening di atas meja. Aku melihat bibirnya berkedut-kedut menahan senyum. Padahal mulutnya masih menempel pada gelas. Pasti otaknya sedang memutar cuplikan di mana saat Tuti membonceng di atas jok motor butut Lukman dan bersenda-gurau bersama. Walau yang terlihat adalah Tuti yang jelita sedang berboncengan dengan troll buruk rupa, pikirku. Aku tak dapat menahan tawa melihat ekspresi Lukman. Karena tawaku yang pecah, Ibu dan Bapak ikut melihat ke arah Lukman yang masih mempertahankan wajah konyolnya. Sepertinya ia tiba-tiba tuli hanya dengan melihat wajah Tuti dalam benaknya. Saat Lukman menyadari, kami tertawa bersama bak orang gila di meja makan.

Zonder Reden [END] ✔️ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang