Ig : rizka_fraja
***
Pintu kayu berderit nyaring didorong dari luar, setelahnya kepalaku menyembul celingukan; melihat situasi. Hal pertama yang tertangkap hanya gelap. Ruangan luas dengan sedikit perabotan yang ditutupi kain putih. Aku dapat memastikan, bahwa di depan sana adalah ruang tamu. Dipikir aman, Aku membuka pintu lebar-lebar dan melangkah ke dalam. Pintu yang berkarat dan sedikit macet membuatku meregangkan badan dahulu sebelum memulai permainan. Arloji yang bertengger pada pergelangan tangan kiri menunjukkan pukul sepuluh malam.
Huh. Karena permainan Truth or Dare, aku malah terjebak dalam rumah tua ini. Tantangan. Sebenarnya aku merutuk dalam hati. Permainan sialan. Namun bodoh, aku malah menuruti.
Dasar memang aku ini panas telinga. Mudah diracuni, pula. Tentu saja awalnya aku menolak mentah-mentah. Buang waktu. Tapi si sombong Tiana itu bilang, "Ah, bilang aja gak berani!" wajahnya sungguh menyebalkan. Bibirnya monyong. Merendahkan orang keahliannya. Dengan hati terbakar karena A dan B ejekannya, aku mengiyakan. Mereka tidak tahu aku dapat melihat hantu.
Rumah tua di jalan kemangi. Beberapa meter dari sekolah. Tempat yang menurut Tiana bagus untuk menguji nyaliku. Konon katanya, rumah ini sudah tidak ditempati selama kurang lebih sembilan tahun. Rumor yang beredar, penghuni rumah tersebut sepasang suami istri yang berhati baik namun ternyata melakukan praktik pesugihan. Meninggal karena menjadi korban praktiknya sendiri. Katakan saja, senjata makan tuan. Pembantu ditumbalkan, pekerja pabriknya ditumbalkan, bahkan anak kandungnya pun ditumbalkan. Hanya demi harta dunia yang bahkan bersifat sesaat. Tibalah, si tuan tidak dapat mengirim tumbal. Dedemit marah, dan mengambil nyawa si tuan sebagai gantinya.
Aku ingin mencari tahu kebenaran tersebut.
Aku memutuskan berjalan menghampiri kain putih. Debu setebal lima senti menutupi kain itu. Ditarik. Debu-debu beterbangan mengepungku. Beribu-ribu butir kecoklatan. Sesak. Teramat pengap. Tidak bagus bagi pernapasan. Mungkin juga dapat membuatmu mengidap ispa bila terlalu lama bergelut dengan debu. Lantai porselen retak termakan waktu. Beberapa bagian, malah. Tumbuhan menyembul dari sana. Dindingnya sudah lapuk. Cat terkelupas menampakkan bentuk-bentuk aneh.
Dengan mengandalkan cahaya rembulan, aku melangkah menuju ruang tengah--mungkin, terdapat kursi melingkar. Mendekat. Berjalan pelan seakan menghindari ranjau. Mendudukkan diri sambil menerawang kanan kiri. Sofanya empuk. Membuatku melemparkan bokong berkali-kali seakan baru menemukan sofa mahal. Tertawa bagai seorang idiot. Sepintas terpikir, aku tertular Elfi.
Lelah merasuki. Merebahkan tubuh pada sofa pilahnya. Tengkurap. Sedetik kemudian Menguap. Merenggangkan tubuh kembali. Mungkin tidur sebelum tengah malam merupakan pilihan yang bagus.
...
Aku menggeliat. Beranjak duduk setelah tidur. Melihat arloji, pukul 24.06. Antara senang atau tidak, ini waktuna berkelana.
Beranjak. Memutuskan berjalan-jalan di lantai satu. Mengitari ruangan yang penuh pigura. Bergelut dengan pemikiran sejenak, mengira, ruang apa ini? Foto dan lukisan di mana-mana. Lapuk termakan waktu. Kanan kiri kulihat satu persatu. Tidak ada yang ganjil. Paling besar terpampang foto keluarga.
Berjalan kembali menuju anak tangga. Ke lantai dua. Namun hingga kini aku belum bertemu dedemit. Mengumpat entahlah. Yang pasti jalanku lancar. Satu dua pijakan pada anak tangga. Berhenti sejenak. Aman. Empat lima pijakan. Tak terjadi apa pun. Ah, bodoh kali aku ini. Menunggu apa pula?
Berjalan kemudian tanpa henti menaiki anak tangga. Tanpa sulit, tanpa penghalang. Mendekati pigura. Foto sepasang sejoli. Berpose elegan. Si pria gagah, si wanita anggun. Sepasang berusia. Aku menyentuh ujung-ujung pigura. Dari dekat terlihat lebih indah. Di pojok kanan terdapat nama entahlah. Mungkin tulisan si pelukis.
Mengamati lukisan si pria dahulu. Mengagumi. Terkejut. Kedua bola mata itu mengerjap. Aku ikut mengerjap. Suara gubrak menginterupsikanku untuk menengok ke lantai satu. Ada apa gerangan? Dari dalam lukisan, keluar sebelah tangan kekar. Melambai-lambai. Aku berjalan mundur teratur. Syok. Kemudian tangan itu menyusup kembali pada lukisan yang ternyata tetap utuh. Tak ada tanda bekas dilubangi tangan.
Mengatur napas. Hanya itu yang aku lakukan. Memejamkan mata sejenak--bila terlalu lama takut ada yang muncul di depan mata seperti pada film-film horor yang aku tonton. Sekelibat bayangan hitam terlihat dari ekor mata kanan. Cepat sekali lajunya. Sekelibat kembali bayangan hitam. Di sebelah kiri. Aku masih memegangi besi yang terhubung pada tangga. Mengeratkan pegangan yang melicin karena keringat. Balik-kanan melihat lantai satu. Ada seonggok tubuh tegap di bawah. Seorang pria. Mungkin berkepala empat. Berdiri takzim menatap lantai. Sekuat tenaga aku menahan jerit suara. Suhu tubuhku mendingin. Hawa yang ditimbulkannya benar-benar pekat. Lihat saja, bulu kudukku meremang.
Seonggok tubuh itu mendongak. Mata biru tajam. Kumis tebal. Tubuh kokoh. Semuanya terasa mengimidasi walau dari jauh. (Jangan lupakan wajah tampan walau sudah om-om). Sepersekian detik kemudian, tubuh itu sudah berada di sebelah kiriku. Dekat anak tangga. Menyorot marah. Tanpa suara. Tanpa disadari. Diam-diam aku meneguk ludah. Pria itu berkilat marah.
"Tamu tak diundang! Pergi kau dari rumahku!" suaranya menggelegar seirama dengan petir yang menyalak ganas dari luar rumah. Hujan lebat tengah mekingkupi bumi. Hawa tambah tak menentu. Pria itu berseru garang kembali, "BERANINYA KAU MENYENTUH BARANG DI RUMAHKU!"
Benda-benda di sekitar kami melayang, seakan siap menghujamku sampai mampus. Dia melangkah mendekat, aku mundur menjauh.
"AKU TIDAK SUKA KAU MENYENTUH LUKISANKU!" menyalak sekali lagi. Tak peduli di depannya pria atau wanita. Yang dia tahu, "Tamu tak diundang yang berani menyentuh barang berharganya" itu saja. Aku baru tahu, kalau saja aku tidak menyentuh lukisan itu, mungkin pria ini tidak akan ada di hadapanku dengan wajah garang. Sungguh. Ada apakah dengan lukisan itu?
Dengan bergetar, aku berseru tergagap. "Maaf sebelumnya, tuan. Saya hanya ingin melihat-lihat. Tidak ada sedikitpun niatan merusak," setidaknya aku bersuara.
Benda-benda itu kembali pada tempatnya. Si pria tertawa sinis. "Aku tahu, aku tahu. Pasti permainan manusia yang sialan itu 'kan? Apa namanya, uji nyali? Bah! Kau saja langsung ciut macam begini." Dia kembali tertawa. Lebih menggelegar.
Suaranya memenuhi ruangan. Langkah kakinya terhenti. Aku ikut terhenti. Dia mengamatiku penuh selidik. Mendesis. "MANUSIA KURANG AJAR!"
Aku kira dia bakal berbaik hati mengobrol denganku. Setidaknya jangan biarkan aku kembali tanpa informasi. Benda-benda kembali terangkat. Lebih tinggi daripada sebelumnya. Bersiap menyerang. Dengan kedua mata terpejam, aku memyerahkan diri; pasrah.
[]
***
Krw, April 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Zonder Reden [END] ✔️
HorrorSebelum baca, follow terlebih dahulu :) • Zonder Reden = Luar Nalar • Aku tidak mau berteman dengan gulita, tetapi gulita yang ingin berteman denganku. Apa yang bakal kau lakukan, jikalau kau secara tiba-tiba dapat melihat hantu? Cat : Widias Kinant...