Ig : mercapada
***
Aku salah kira. Bi Murti berbelok menuju kursi kasir, di sebelah kanan dekat mejaku. Diam-diam dia mencuri pandang ke arah kami. Aku pun demikian. Jaga-jaga kalau memang wanita tua itu merencanakan hal busuk. Setidaknya sekarang aku sudah menyuruh Elfi lekas membayar dan bersiap pergi dari kedai ini.
Geram. Wanita tua itu bercengkerama hangat dengan Elfi. Mengulur waktu. Berbincang-bincang akrab layaknya saudara jauh. Aku tak sabar. Mengepal tangan. Memaki-maki dalam hati.
Aku segera menggapit lengan Elfi dan menyeretnya pergi sedetik sebelum ia menghempaskan bokongnya kembali pada kursi plastik di sebelahku. Elfi keheranan. Namun aku tetap membawanya ke seberang jalan besar. Bungkam; tidak memberikan alasan.
Setelah cukup jauh dari warung, aku melepaskan tangan Elfi. Dia bertanya, "Ada apa, sih?"
Aku menjawab, "Besok aku jelaskan."
Ia terlihat sedikit gemas namun tetap menurut. Kebungkaman antara kami menimbulkan sunyi yang mana membuat bulu kudukku meremang. Elfi pun merasa demikian. Mungkin. Karena kami saling bertukar pandang. Dan, di situ aku tahu. Ada yang membuntuti kami!
•••
Hari menjelang sore. Cukup lama juga kami di warung Bi Murti--ditambah perjalanan pulang yang cukup menguras waktu-- Kebetulan Aku dan Elfi bertetanggaan. Jadi tidak berpisah di jalan.
Gang-gang sempit dan rumah yang saling berhimpit sudah terlihat. Elfi memutuskan menginap di rumahku karena orang tuanya sedang pergi ke luar kota. Berhubung aku tinggal seorang diri, jadi dengan senang hati aku menerima Elfi.
Tidak terasa malam berangsur datang. Kami bersiap tidur setelah aku menceritakan kejadian di warung jalan besar. Sepertinya memberitahukan yang sebenarnya tidak masalah. Toh ini yang dia korek. Lebih cepat lebih baik juga. Setelahnya, Elfi memutuskan segera melunasi utang-utangnya esok hari dan tidak datang lagi ke warung itu. Aku sih terserah dia. Tapi jika Elfi tidak berkunjung kembali, mengingat ia begitu dekat dengan Bi Murti sampai pada taraf hutang-menghutang, pemilik warung itu pasti akan bertanya-tanya dan menyimpulkan, Elfi tahu sesuatu tentang warungnya. Jadi setidaknya, ubah kata "sering kali" itu menjadi "terkadang". Artinya, tetap berkunjung namun tidak terlalu sering. Elfi setuju atas itu. Namun yang tidak aku mengerti, setelah apa yang aku ceritakan pada Elfi, lebih-lebih soal air liur pocong, ia tidak bereaksi. Maksudku, kau mencerna makanan yang padahal terdapat iler di sana. Menjijikan. Sekurang-kurangnya, Elfi langsung bergidik, kek. Atau, memampang wajah pura-pura muntah. Jika bisa muntah sekalian. Tapi dengan enteng dia bilang, "Udah berak ini. Siapa tahu makanannya udah ikut kebuang. Lagian, aku lagi males muntah."
Penjelasan itu menambah poin idiotku atas Elfi dalam catatan tidak tertulis. Siapa sih yang tidak jijik? Ya, walau pun terlambat.
Sunyi menerpa. Malam terus bergulir. Semilir angin menggoyangkan tirai jendela. Ditambah cahaya temaram yang menambah kesan mistis. Aku dan Elfi menatap langit kamar, sulit terlelap.
"Kamu tahu, cowok yang di warung itu?" suara Elfi memecah hening. Ada bagusnya juga dia bersuara. Walau pun membicarakan cowok.
"Tidak. Memang kenapa?" tanyaku tanpa minat. Obrolan yang tidak berfaedah.
"Namanya Rama, anak SMA Angkasa. Anak futsal, tahu. Ganteng, gak?" Dia berbinar. Lagi. Mungkin membayangkan wajah Rama saat melempar senyum ke arah kami siang tadi. Tapi aku menggeleng. Karena yang aku bayangkan, saat di mana pria yang dipanggil Rama itu makan makanan yang bercampur air liur pocong dengan lahapnya.
Aku angkat suara, "Ganteng. Tapi—" ketukan jendela menyela ucapanku. Kami serempak bungkam. Mematung. Kemudian siluet yang kukenal sebagai pocong menampakkan diri di balik jendela yang tirainya tersibak angin. Aku dapat menebak tubuh itu walau dalam keadaan temaram.
Elfi beringsut duduk dan merapat ke arahku. Aku mengikutinya. Kami serempak mencengkeram selimut kuat-kuat saat seonggok daging familier itu muncul di hadapan kami. Pertama yang kulihat. Jelek. Mukanya lebih hancur dari dekat. Bergerinjulan macam jalan di desaku yang belum di cor. Jangan lupakan air liur yang menetes dan darah yang ikut unjuk gigi. Sepertinya air liur sudah menjadi identitas wajib bagi pocong yang dijadikan piaraan pengasihan.
Pocong itu menatap tajam ke arah kami. Mengintimidasi. Aku terbawa idiotnya Elfi yang hanya diam bergeming. Sebenarnya selalu begini. Makhluk halus mengambil alih, dan aku yang gentar. Kemudian pocong itu hilang.
Pernah lihat adegan film horor saat dipermainkan dedemit? Aku kira sih begitu. Mulai dari lampu yang berkedip-kedip yang membuat perih pada mata. Suara keran air yang dibiarkan menyala. Tirai-tirai menari liar. Jendela kaca bergerak-gerak yang menimbulakan suara duk duk yang tak karuan. Benda-benda bergetar seirama. Puncaknya, gorden terkulai di lantai. Vas bunga pada nakas pecah berserakan- Namun tidak dengan jendela. Lampu padam seketika-menyisakan suara gemericik api. Kemudian hening.
Aku dan Elfi gelisah. Saling berpelukan menyalurkan gemetar satu sama lain. Ritme jantung memperparah keadaan. Peluh membanjiri dibarengi pening yang mulai merasuki. Lamat-lamat suara dap dap menghampiri. Bisa jadi pocong tadi tengah meloncat-loncat ke arah kami.
Blam!
Seonggok daging itu berdiri berlatarkan bulan. Cahaya yang memasuki kamar cukup untuk menampakkan wajah buruk rupa di depan kami. Ia melotot lagi. Seakan berbicara lewat tatapan mata.
Jangan macam-macam!
Kejernihan pendengaran di antara sunyi malam membuatku yakin pocong itu tengan memperingati dengan suara pelan nan serak namun mengintimidasi.
Dengan itu, ia berlalu pergi-lebih tepatnya hilang. Mungkin maksud si pocong tadi, "Jangan macam-macam bila kau tahu sesuatu tentang pengasihan, atau kau akan mati."
Aku paham. Tapi, ayolah, sudah menjadi rahasia umum di masyarakat tentang orang yang melakukan pengasihan. Memelihara makhluk halus dengan tujuan dagangannya laku. Preett! Tapi mau bagaimana lagi? Menurut saja, lah. Lagi pula aku tidak akan mendapatkan penghargaan atas terkuaknya keburukan warung Bi Murti.
Aku segera mematikan air. Namun tidak berniat membereskan kekacauan. Esok hari minggu. Tidak sekolah. Lebih baik berbenah ditemani sang surya daripada sang luna. Jadi, dengan sisa malam yang ada, aku dan Elfi memutuskan tidur dengan gemetar yang masih melekat.
•••
Esok harinya, cahaya mentari masuk melalui celah jendela yang sudah tidak bergorden lagi. Hal pertama, Elfi masih terlelap, dan aku lekas membangunkannya untuk ikut membereskan kekacauan semalam.
Singkat cerita, selepas melakukan rutinitas pagi. Seperti mandi, sarapan, dan tetek-bengek, kami menyingsingkan lengan baju dan segera bertempur dengan kamar yang nahas dibuat porak-poranda oleh dedemit. Hatiku menggeram, dasar pocong gak tahu malu!
Setelah dzuhur, acara berbenah baru selesai. Aku dan Elfi bersantai di atas karpet kamar dan menatap lurus ke luar jendela dari lantai dua (katakan saja tinggal di rusun). Maklum, gak ada ruangan lain. Nafas yang menderu membuat kami kesulitan mengobrol. Alhasil kesunyian tercipta. Peluh pun sudah membanjiri. Aku dan Elfi saling bertukar pandang. Kemudian tertawa bersama walau tak ada yang lucu. Aku tak yakin Elfi orang waras, namun aku ikut-ikutan sinting. Tiba-tiba ponselku berdering. Ada pesan WhattsApp masuk.
Save, Rama Aditya
Aku tak tahu Rama dapat kontakku dari mana. Tapi yang pasti, bertambah kawan merupakan sesuatu yang baik. Diam-diam aku tersenyum kecil.
•••
Di balik setiap kejadian, ada hikmahnya juga. Setidaknya bertambahnya Rama sebagai kawan merupakan hikmah. Dan, aku jadi tahu, kita tidak bisa menilai orang dari covernya saja. Contohnya Bi Murti. Dari balik wajah keibuan dan kebaikan yang ia tebarkan, rupaya menyimpan rahasia yang memalukan; Melakukan pengasihan hanya demi harta duniawi.
[]
***
Krw, April 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Zonder Reden [END] ✔️
HorrorSebelum baca, follow terlebih dahulu :) • Zonder Reden = Luar Nalar • Aku tidak mau berteman dengan gulita, tetapi gulita yang ingin berteman denganku. Apa yang bakal kau lakukan, jikalau kau secara tiba-tiba dapat melihat hantu? Cat : Widias Kinant...