Mungkin bagi Raya menjadi orang terbelakang tak buruk juga, dengan begini ia bisa menatap dengan luas para pesaing yang berada didepannya cukup dari sini. Satu persatu orang-orang yang ikut maju mendahulukan barisannya tengah mengepal kuat telapak tangannya, berharap semoga pengalaman organisasi mereka yang baru saja bertunas dapat membuahkan hasil yang baik. Tapi mengingat hal itu, rasanya tidak mungkin. Bagaimana tidak jika berulang kali Raya dan teman-temannya dihadapkan langsung dengan ajang wawancara yang berakhir dengan isakan tangis yang memilukan. Tak tahu apa yang ditanya sampai harus berlinangan air mata seperti itu. Mungkin terharu?
Oh atau mungkin ada sesuatu didalamnya.
Pengalaman organisasi Raya semasa SMA juga tak begitu buruk, setidaknya ada yang bisa ia banggakan nantinya. Selesai dengan pikirannya dan membangga-banggakan dirinya sendiri, cewek berambut pendek ini menajamkan penglihatannya begitu pintu terbuka mendapatkan Agisdi keluar dengan mata merah dan sembab seperti orang yang tengah dipukuli keramaian massa, reflek dahi Raya mengerut, tangannya dengan cepat menahan bahu Agisdi sebelum perempuan itu berjalan makin menjauh lagi dari dirinya, matanya sibuk memperhatikan dari ujung kaki hingga ujung kepala Agisdi. "Kenapa, Gis?" tanya Raya, khawatir. Agisdi yang masih sibuk menyeka air matanya buru-buru menjawab dengan beberapa ral kata yang terdengar sambung menyambung menjadi satu secepat kereta uap. "Hah?" Raya tak begitu mendengar dengan jelas,rasanya ia agak tuli akhir-akhir ini. Atau mungkin Agisdi yang tengah takut-takut agar ia tak lagi kedapatan sedang mengobrol saat waktu wawancara sedang dimulai oleh panitia seleksi BEM yang berkeliaran disekitar sini, makanya dengan cepat Agisdi berkata seadanya asal Raya tahu keadaannya. Tapi jikalau dilihat-lihat, sepertinya Raya tak tahu apa yang dimaksud Agisdi ini.
" Ih udah nanti aja gua ceritain, budek lu" Kesal Agisdi, kembali berjalan meninggalkan Raya dibarisannya. Raya yang masih bingung dengan situasi yang ada cukup menaikkan kedua bahunya.
Lama menunggu, pikir Raya. Semakin lama pula orang-orang yang berada didepannya habis menyisakan dirinya beserta tiga manusia yang tak jauh dari tempat yang ia duduki ini. Ah mungkin karena gugup dan semacamnya, sepertinya Raya ingin melakukan panggilan alam terlebih dahulu sebelum memulai sesi wawancaranya. Kepalanya mencari, menangkap lelaki tinggi semampai yang sibuk berteriak tak jelas pada teman-temannya dari kejauhan. Kakinya melangkah sangat cepat ke arah lelaki bertubuh jangkung tersebut, tangannya menepuk bahu sih kakak tingkat dengan takut-takut. Lelaki yang ia tepuk bahunya sontak menoleh kearah dirinya, butuh waktu yang lama untuk Raya karena harus menengadahkan kepalanya keatas karena sangkin tingginya menatap sih Kakak tingkatnya ini, apa lagi sinar matahari yang pas mengenai kepala sih lelaki hingga membuat kedua mata Raya silau sendiri.
" Kak maaf, saya boleh izin ke kamar mandi gak? kebelet nih" Tanya Raya tak tahan. Pria bersurai cepak berwarna coklat itu berkacak pinggang, dagunya terangkat menunjuk kearah yang berlainan seakan tangannya tak cukup mampu untuk menunjukkan arah lokasi yang ingin Raya datangi itu" 8 menit dari sekarang"
" Yah kok 8 menit sih, kak?" Protesnya. Tak digubris oleh pria yang baru saja ia temui ini. Konsekuensi waktu sangat tak adil menurut Raya, panggilan alam tak secepat apa yang dipikirkan mereka, butuh waktu lama bagi seorang perempuan untuk menjaga hygiene nya.
" Ya udah, 5 menit"
" eh loh kak, iya deh 8 menit" Kakinya berlari tak memperdulikan kakak tingkatnya yang super duper menyebalkan itu, harus Raya ingat dengan baik bentuk wajah sih kampret yang sudah berani mengatur jamnya. Kakinya sibuk membelah kerumunan mahasiswa yang lalu lalang, untunglah tiap sisi tempat menyediakan kamar mandi.
Ahh lega, selesai melakukan panggilan alam yang begitu dadakan, Raya segera membersihkan dirinya mengingat waktu yang diberikan kakak tingkatnya itu tak sedikit. Sesaat ia keluar dari bilik untuk mencuci tangannya, kepulan asap dari belakang telah tercium oleh indera penciumannya, bukannya mengibaskan kepulan asap putih tersebut dengan tangannya, Raya malah sibuk mencari sumber dari biang pembuat bibit penyakit disekitarnya. Matanya sukses melebar, tubuhnya mundur hampir tersungkur jika tangannya tak sigap untuk menahan washtafel dibelakangnya, dalih ingin menegur pun tak jadi dilakukan oleh Raya, jantungnya masih berdetak tak beraturan begitu apa yang ia lihat hampir membuatnya marah dan kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kak Bagas (WenGa Lokal)
FanfictionDari dulu, aku sudah tahu kalau cinta pertama itu memang benar-benar ada dan semua itu berawal dari kakak kelas SD ku yang datang dan menemuiku didepan kelas sembari membawa sebatang coklat yang kutahu pastinya adalah hasil mengumpulkan uang dari or...