6. Dia terlalu peduli

10 2 0
                                    

Kalau di pikir-pikir, sekolah memanglah menjadi salah satu wadah untuk aku bersosialisasi di lingkunganku yang sepi ini. Mengingat kalau aku juga anak satu-satunya di keluargaku, maka aku butuh teman untuk bicara. Aku pikir SMA itu mudah, nyatanya tidak sama sekali. Mungkin kalau aku tidak pernah kenal dengan Ades, aku sudah mencoba bunuh diri karena hidup begitu hampa.

Huft.

"Gue duluan gapapa nih?" Ades menganggetkanku. Helm berwarna hitam yang ia kenakan terlihat seperti-- entah, pokoknya aneh.

"Iya, bentar lagi juga mama gue sampe." Jawabku.

Lalu, suara motor Ades menjauh.

Andai saja mama mengizinkanku membawa kendaraan sendiri, pasti aku tidak harus menunggu lama-lama begini. Ya, walaupun memang keluarga kami tidak punya motor, setidaknya aku harus dapat izinnya dulu.

"Ramalan cuaca hari ini hujan di sertai petir." Ujar seseorang di sebelahku.

Sejak kapan ada orang di sebelahku?

Seperti biasa, aku duduk di bangku yang ada di dekat pos satpam dan dibawah pohon besar.

"Percaya gak sih? Harusnya jangan. Cuaca nggak bisa di ramal gitu aja kan ya?" Aidan.

Begitu wajahnya menatapku, aku langsung menggelengkan kepala tidak percaya. Kurasa, membagi brosur menjadi salah satu pekerjaannya, atau mungkin satu-satunya. Lantas kenapa dia ada di sini? Buang-buang waktu saja.

"Ngapain?" Tanyaku.

Dahinya berkerut samar. "Duduk. Aku kira kamu udah lihat." Jawabnya.

"Maksudnya, ngapain kamu duduk disini? Memangnya nggak ada kerjaan lain selain duduk di sini?" Tanyaku.

Wajah Aidan kaget. Tersenyum lebar walau bibirnya tidak sampai samping telinga, tapi tetap saja senyumnya lebar.

"Kamu ngomongnya panjang banget," ujarnya.

Aku mengerling. Memangnya iya?

"Woi! Makan tuh 2 poin!" Teriak seseorang membuat kami berdua menoleh ke asal suara.

Tunggu. Kami? Maksudku, Aidan dan Aku. Ya 'Kami' sih, tapi rasanya aneh kalau aku dan dia di jadikan satu. Mengerti kan?

Dodi sialan.

Aku harap, di jatuh tersungkur batu dan tidak akan bisa bermain basket lagi. Ups, aku terlalu kejam. Lagipula, tak apa lah sekali menghujat orang sampai akarnya supaya nanti mulutku sudah bosan mengejeknya. Aidan di sampingku mengerutkan keningnya heran. Bingung, karena tidak mengerti apa yang di ucapkan cowok sok ganteng yang sedang mengenakan helm mahal (Katanya lebih mahal dari harga ponselnya)

Aku tidak peduli.

"Itu temen kamu? Ih jahanam." Ujar Aidan.

Tawaku meledak.

Yaampun!

Jahanam. Baiklah, aku akan menggunakan kata itu untuk sumpah serapah yang akan terdengar sopan.

"Eh.. eh jangan ketawa lebar-lebar!" Serunya.

Otomatis aku langsung menutup mulutku dengan kedua tangan. Aku terlalu lepas. Tidak pernah merasa selepas ini. Terima kasih, Aidan.

"Nanti lalat masuk. Eh iya by the way, kamu nunggu di jemput? Mau bareng sama aku aja nggak?" Tanyanya. Aku langsung menggeleng.

Raut wajahnya berubah. Aku bisa lihat, wajahnya berubah menjadi datar. Aku tidak tahu, intinya aku lebih baik menunggu mama daripada pulang bersama Aidan. Kalau aku mengambil tawarannya, sama saja aku mengizinkan Aidan menjadi temanku.

When I Care Too MuchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang