(Digital Love)
🍀🍀🍀
Aku baru menyadari,
Betapa kerasnya ekspektasi bisa memukulmu jatuh.
Bukan dia yang salah,
Harapanku lah yang kelewat dari kenyataan.
..
Fanya yusufjennyyusuf ~
Aku baru menyadari jatuh cinta kali ini mirip jatuh cinta kepada ilusi. Disinilah aku, mencoba menemukan kebenaran dan menguji tesis yang kususun sendiri. Aku mantap jatuh hati padanya. Dan sekarang, aku akan mewawancarainya. Ya benar!
Tak peduli seperti apa dia, secakep apa, sekeren apa. Aku tau khayalanku mengada-ada, tapi inilah aku. Jatuh cinta pada identitas maya yang menyilaukan dan akan mengaburkan fakta bahwa dia tak sebagus pencitraannya, buktinya aku terpikat.
Aku duduk di sofa kulit dengan gelisah, menggeser pantat tiap dua menit untuk mencari posisi paling enak, atau yang sekedar bisa menghilangkan rasa grogi.
"Fanya?"
Disanalah Peter Adhikarya, pujaan hati ratusan ribu perempuan di jagat maya, berdiri sambil tersenyum ramah menatapku. Tepat didepanku.
"Awas!" Peter menopang cangkirku dengan jemarinya yang ternyata lentik sempurna. Aku terkesiap, tehku nyaris tumpah karena cangkirnya miring.
Peter bersandar dengan nyaman, begitupun aku. "Ini kafe favorit gue. Gue seneng bnget nulis, browsing, tweet, apa aja disini. WiFi-nya kenceng gila." Peter mencerocos panjang lebar.
"Ehm, bisa mulai wawancaranya?" Oh, shitt. Dari ratusan ribu kata yang dihafalin, kenapa harus yang itu sih?! Apa kek! Basa-basi kek! Halah...
"Bisa, bisa." Peter menegakkan tubuhnya, sedikit condong kearahku.
"Oke, pertanyaan pertama. Menurut lo, apa yang kira-kira belum diketahui followers lo tentang seorang Peter Adhikarya,"
Pertanyaan pertama sekaligus yang paling kunantikan jawabannya.
"Gue gay."
Dia gay... WHAT?!
"Kaget ya? Eh, tapi lo pasti udah tahulah, ya."
Jawaban yang muncul dari bibirku hanya seringai tolol yang dipaksakan.
"Gue juga nggak ngerti sama followers gue. Adaa aja yang nyangka gue straight, padahal gue udah sering banget kasih tanda-tanda."
Aku menelan ludah yang kini terasa getir. Mendadak perutku mual. Peter bercerita ringan, tentang keluarganya, tentang buku yang sedang ditulisnya dan tentang keponakan yang sedang lucu-lucunya.
(dan tentu saja aku harus membuang jauh-jauh pikiran: enak banget ya jadi keponakannya, digendong-gendong terus!)
"Eh, sampai mana tadi wawancaranya?" Peter berujar.
"Udah selesai kok. Tadi itu pertanyaan terakhir. Thanks banget ya, udah mau diwawancara."
"Sama-sama! Rasanya nggak kayak diwawancara. Gue merasa seperti ngobrol bareng temen. You're a good journalist."
Aku tersipu. Biarlah.
"Habis ini mau kemana? Ada acara?"
"Balik ke kantor.." Aku melirik jam tanganku, hampir pukul empat.
"Padahal, kalo nggak ada acara gue mau ngajak lo karaoke bareng Toby."
"Toby?"
"Cowok gue. Dia on the way kesini."
"Ehm, kalau gitu gue duluan, ya." Aku meraih dompet dan mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan.
"Thanks."
"Anytime. So, see u around?"
Aku menyambar tasku.
"See u around."
Aku melangkah cepat, keluar dari kafe yang kini terasa panas dan menyesakkan. Aku melambai memanggil taksi yang mangkal tak jauh dari sini.
Kusempatkan diri melirik jendela sisi tempat duduk Peter. Kursi itu kosong, karena Peter sedang berdiri menyambut seorang laki-laki kulit putih yang mengenakan kaus putih ketat ungu.
Pintu taksi kututup tepat ketika bibir Peter mendarat di bibir sempurna kekasihnya. Hari ini aku memang sedang dobel sial!
***
Digital love beraksi;)

KAMU SEDANG MEMBACA
Weird Destiny : Random Story
Short StoryYa, Takdir memang sedikit lucu atau bahkan aneh, karena kenyataannya membuat lidahku kaku dan tenggorokanku tiba-tiba mengering, sehingga yang ku perbuat hanya memainkan jari-jari lentikku diatas papan qwerty dengan bahasa yang agak rancu. namun ter...